Dulu Air Melimpah, Kini Warga Harus Rebutan Mengisi Ember
Saat musim kemarau tiba, air tak pernah jadi kendala karena tetap mengalir.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, M Syarif Abdussalam
TRIBUNNEWS.COM -- DULU daerah di kawasan Darajat, Desa Karyamekar, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, tidak pernah mengalami kesulitan air bersih. Air mengalir deras dari gunung ke selokan-selokan. Kolam-kolam ikan pun banyak dibuat warga. Saat musim kemarau tiba, air tak pernah jadi kendala karena tetap mengalir.
Kondisi sekarang berbeda. Di daerah ini bermunculan tempat-tempat wisata air panas. Tapi warga di kawasan Darajat harus mengalami krisis air bersih. Mereka pun terpaksa berebut untuk mengisi ember dari slang dengan air yang lebih mirip tetesan air ketimbang kucuran.
Di Kampung Sintok, Desa Karyamekar, misalnya, warga mengantre untuk mengisi air dari slang di selokan pinggir jalan setiap pagi dan sore. Maklum, di kampung dengan jumlah 80 rumah ini warga hanya mengandalkan dua saluran air berupa slang untuk mendapat air.
Damin, Ketua RT 04/RW 2, mengatakan, selain dua slang yang sering diperebutkan tersebut, warga biasa menampung air dari tiga titik slang yang mengucur di pinggiran jalan. Warga tidak pernah berhasil mendapat air jika membuat sumur.
"Ada bantuan dari Chevron, pipanya besar, tapi airnya tidak ada. Sebelumnya, airnya keruh dan berlumpur. Pipanya saja sampai berkarat, bagaimana bisa diminum? Andaikan air yang disalurkannya bukan dari rawa, tapi yang lebih tinggi, warga bisa memakainya," kata Damin, Rabu (10/9).
Pada musim kemarau, katanya, warga pun lebih kesulitan mendapat air bersih. Rebutan slang setiap pagi, katanya, bukan hal yang aneh lagi terjadi di pinggiran jalan menuju kawasan wisata air panas Darajat tersebut.
Ai Hamidah (29), juga warga Kampung Sintok, mengatakan akibat krisis air bersih tersebut, kedua anaknya sering tidak mandi sebelum pergi ke sekolah. Mereka tidak mau mengambil risiko mengantre air bersih supaya tidak terlambat ke sekolahnya.
"Masih syukur kalau air yang keluar sebesar ekor tikus. Ini kalau menetes, bingung. Untuk mencuci, kami sangat mengirit air, apalagi kalau kemarau datang," kata Ai.
Menurut Ai, warga tidak berani menggunakan air sungai. Selain lokasinya yang sangat curam dan jauh, airnya sangat memprihatinkan. Air sungai tersebut merupakan air sisa pembuangan pembangkit listrik dan limbah kolam renang.
Yayan (53), warga Kampung Sukalaksa di Desa Karyamekar, mengatakan diduga krisis air bersih ini disebabkan kondisi alam yang berubah drastis di kawasan Darajat. Puluhan tahun lalu, katanya, air mengalir sangat deras di selokan, termasuk saat musim kemarau.
"Dulu dapat air sangat mudah, banyak kolam di sini. Sekarang, untuk mengisi setengah bak saja harus menunggu sampai tiga jam. Itu juga kalau giliran mendapatkan slangnya tidak direbut orang lain. Kalau hujan, banjir," katanya.
Satu-satunya sumber air yang digunakan warga di tiga kampung di kawasan Darajat, katanya, adalah mata air hibah dari seorang warga. Jika mata air tersebut surut, warga akan sangat kebingungan mendapat air bersih.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut, Dik Dik Hendrajaya, mengatakan akan segera meninjau kondisi di kawasan Darajat, kemudian berkoordinasi dengan PDAM Tirta Intan untuk pengadaan air bersih. Tentunya, pengadaan air bersih harus dimulai dengan menempuh prosedur berupa surat permohonan dari camat setempat.
"Jika ingin secara permanen, melalui pipanisasi, harus dikoordinasikan dengan Dinas Tata Ruang dan Permukiman. Kami akan berupaya menyediakan air bersih untuk warga melalui sejumlah cara," katanya. (*)