Lonceng Cakradonya Persembahan Laksamana Cheng Ho untuk Aceh
Lonceng tersebut menjadi simbol persahabatan Aceh dan Tiongkok sejak abad ke 15. Saat ini, lonceng tersebut tersimpan baik di Museum Banda Aceh.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawab Tribun Jateng, Achiar M Permana
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Laksamana Cheng Ho telah mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera Pasai pada 1414 Masehi, pada muhibah keempatnya, dia memberi lonceng raksasa "Cakradonya" sebagai hadiah Kaisar Yongle, penguasa Tiongkok, kepada Sultan Samudra Pasai.
Lonceng tersebut menjadi simbol persahabatan Aceh dan Tiongkok sejak abad ke 15. Saat ini, lonceng tersebut tersimpan baik di Museum Banda Aceh.
Lonceng raksasa ini berbentuk stupa, dibuat pada 1409 Masehi. Tingginya mencapai 125 sentimeter, lebar 75 sentimeter. Di bagian luar terukir hiasan dan tulisan Arab juga China.
Saat Kerajaan Pasai takluk di tangan Kerajaan Aceh Darussalam pimpinan Sultan Ali Mughayatsyah pada 1542 M, lonceng itu disita dan diboyong ke Koetaradja (sekarang Banda Aceh), pusat Kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), lonceng ini sempat dipasang di buritan kapal perang bernama Cakradonya.
Setelah tak digunakan di kapal, lonceng Cakradonya sempat digantung di depan Masjid Raya Baiturrahman. Lonceng ini sering dibunyikan ketika penghuni istana harus berkumpul untuk mendengar maklumat sultan. Baru pada tahun 1915, dari Masjid Raya Baiturrahman, lonceng tersebut kemudian dipindah ke Museum Aceh, hingga sekarang.