Kuburan untuk Dua Terpidana Mati Australia Digali di Aceh
Liang lahat itu mereka maksudkan sebagai tempat untuk dikebumikan dua narapidana berkewarganegaraan Australia
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, MEULABOH – Korban tsunami yang tergabung dalam Gerakan Pejuang Rumah Tsunami (GPRS) Aceh Barat, Minggu (22/2) sekitar pukul 15.00 WIB, menggali dua buah kuburan di Pantai Suak Ujong Kalak, Meulaboh.
Liang lahat itu mereka maksudkan sebagai tempat untuk dikebumikan dua narapidana berkewarganegaraan Australia, Myuran Sukumara dan Andrew Chan yang akan dieksekusi mati di Indonesia karena terlibat narkoba.
Penggalian dua kuburan itu, kata Koordinator GPRS, Edi Candra, sebagai bentuk protes lanjutan yang dilancarkan korban tsunami Aceh Barat terkait pernyataan Tony Abbott. Sebagaimana diketahui, Perdana Menteri (PM) Autralia itu mengaitkan bantuan kemanusiaan dari negaranya dengan dua gembong narkoba asal Australia yang dia harapkan tidak dieksekusi mati di Indonesia karena negara kanguru itu sudah berjasa membantu korban tsunami di Aceh.
Berdasarkan pantauan Serambi, Minggu (22/2) kemarin, penggalian dua kuburan itu dilakukan oleh belasan korban tsunami, anggota GPRS Aceh Barat. Selain melakukan penggalian, GPRS juga membawa sejumlah kartun bertuliskan protes terhadap PM Abbott yang setelah sepuluh tahun berlalu masih saja mengungkit-ungkit bantuan yang pernah mereka berikan kepada korban tsunami Aceh 26 Desember 2004.
“Kami minta Presiden Jokowi segera tembak mati saja dua warga Australia yang menyelundupkan heroin ke Indonesia itu. Kami sudah siapkan dua kuburan untuk mereka di Meulaboh,” kata Edi.
Penggalian makam itu, ulas Edi, juga sebagai bentuk balas budi masyarakat Aceh Barat kepada Australia karena bantuan yang pernah disalurkan masyarakat dan Pemerintah Australia untuk korban tsunami Aceh dulunya ternyata tidak ikhlas. “Masyarakat Aceh yang merupakan korban tsunami sangat terpukul terhadap pernyataan PM Australia tersebut. Atas dasar itulah, dua kuburan ini kami siapkan sehingga ke depan diharapkan PM Australia tidak asal mengeluarkan pernyataan yang menyinggung perasaan masyarakat Aceh,” ujarnya.
Menurut Koordinator GPRS Aceh Barat, penggalangan dana melalui lelang batu giok yang dimulai sejak Sabtu (21/2) hingga Minggu kemarin pun masih terus berlanjut. Kegiatan ini dilakukan korban tsunami dengan membuka posko penggalangan dana di Kafe Endatukupi, Meulaboh.
Dana yang didapat dari hasil pelelangan batu mulia itu, menurut Edi, akan dikirimkan ke Australia melalui duta besarnya di Jakarata. “Ini untuk mengganti bantuan kemanusiaan yang diberikan Australia kepada korban tsunami Aceh dulunya,” ujar Edi.
Menurut Edi, masyarakat Aceh berharap PM Australia segera minta maaf kepada masyarakat Aceh dan Indonesia terkait pernyataannya yang menyinggung nurani tersebut. GPRS bahkan meminta Gubernur dan DPR Aceh segera menyurati resmi PM Australia terkait pernyataan itu, sehingga mereka tahu bahwa masyarakat Aceh sangat tersinggung atas pernyataan yang demikian. Apalagi disampaikan oleh seorang perdana menteri negara tetangga.
Di sisi lain, kata Edi, GPRS Aceh Barat juga sedang menginventarisir seluruh bantuan Australia untuk pemulihan dampak tsunami di Aceh Barat. Sehingga, pengembalian dana dari Aceh Barat disesuaikan dengan jumlah bantuan Australia yang pernah mengalir ke kabupaten itu untuk pemulihan dampak tsunami.
Sementara itu, Direktur Seuramo Peduli Aceh, Tgk Akmal Abzal mengimbau masyarakat Aceh agar tak gegabah menyikapi pernyataan PM Australia, Tony Abbott yang mengaitkan eksekusi mati kasus narkoba yang melibatkan dua warga negaranya dengan bantuan tsunami untuk Aceh. “Sebagai masyarakat Aceh patut prihatin terhadap pernyataan Tony Abbot, namun keprihatinan kita juga tidak boleh terlalu berlebihan,” katanya dalam siaran pers, Minggu (22/2).
Ia tambahkan, secara tak langsung masyarakat Aceh juga sedang mempertontonkan sifat sombong dan lupa diri dengan melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan. Menurutnya, kecaman sebatas ekspresi kekecewaan dalam batas normal masih dapat ditolerir. Tapi melakukan upaya penggalangan koin hingga lelang batu giok untuk mengganti bantuan yang pernah diberikan Australia untuk Aceh ini merupakan tindakan yang berlebihan.
“Pertanyaannya apalagi yang akan dilelang dan sampai berapa lama koin itu bisa kita kumpul untuk mencapai angka Rp 13 triliun. Entah juga kalau Pemerintah Aceh ikhlas APBA 2015 ini diserahkan ke Pemerintah Australia, maka utang kemanusiaan Aceh selesai. Pertanyaan kedua, jika Rp 13 triliun dapat terkumpul, ternyata Kedubes Australia tak mau terima pengembalian dana tersebut, maka ke mana dan bagaimana dipertanggungjawabkan dana hasil penggalangan itu?” tanya Tgk Akmal sembari mengingatkan bahwa dana seperti itu rentan disalahgunakan oleh pihak yang menggalang. (riz/una)