Kisah Gigih Tunanetra Mengais Rezeki di Sudut Malioboro
Kakinya melangkah, tanpa mengetahui ke mana arah. Keringat mengucur tepat di dahinya, sambil berjalan menggunakan tongkat, ia menenteng keranjang
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Kakinya melangkah, tanpa mengetahui ke mana arah. Keringat mengucur tepat di dahinya, sambil berjalan menggunakan tongkat, ia menenteng keranjang berisi roti.
Ialah Maryono, seorang lelaki tuna netra yang kini berusia menginjak 46 tahun asal Kulonprogo, DIY. Rambutnya didominasi oleh warna putih alias sudah beruban.
Sudah sejak bulan Maret 2015, ia beralih profesi menjadi seorang penjual roti di sepanjang jalan Malioboro, Yogyakarta.
Awalnya, Maryono normal bisa melihat . Namun kondisi itu hanya berlangsung hingga umur delapan bulan. Setelah itu ia tidak melihat sejak ibunya mengandung adiknya.
"Ibu saya tidak mau terbuka saat sedang mengandung adik saya kepada bapak. Jadi saya minum air susu kotor karena ibu saya mengandung adik saya," imbuh Maryono meyakini hal tersebut.
Sebelumnya, Maryono adalah seorang pengamen yang menggunakan orgen tunggal sebagai alat pengiring saat ia bernyanyi di tempat yang sama, pada 2004 hingga awal 2015.
Namun, saat razia PKL dan Pengamen sering terjadi di sana, dirinya beralih profesi sebagai penjual roti keliling.
"Di sini, saya memiliki tiga macam rasa. Ada rasa coklat, abon dan susu. Satunya saya jual Rp 1.500," tutur Maryono yang juga Ketua Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) Kabupaten Kulonprogo..
Pria ramah ini mengaku, dalam sehari, pendapatannya sebagai penjual Roti sekitar Rp 50.000.
Dunia bermusik belum sepenuhnya ditinggalkan Maryono. Di sela waktunya berjualan roti, terkadang Maryono mendapatkan undangan untuk bernyanyi di luar Yogyakarta.
"Kalau undangan begitu, biasanya saya dapat dari teman saya. Kalau di situ saya hanya bernyanyi. Teman saya sebagai pengiring. Pernah diundang diantaranya ke Magelang dan Purwokerto untuk bernyanyi," imbuh Maryono tanpa menggambarkan kesedihan di wajahnya.
Maryono bercerita, dirinya sudah tiga kali menikah. Pernikahan pertama dan kedua kandas di tengah jalan.
"Dulu saya nikah sama mantan istri saya orang Cilacap, namun ditinggal selingkuh. Setelah cerai, saya menikah lagi, dan terjadi hal yang sama. Dan pernikahannya tidak pernah berlangsung lama," Ia mengeluh, namun tetap tersenyum.
Kini Maryono sudah menikah kembali. Ia mempersunting Suminah, wanita asal Wonosari, yang kini sudah menginjak usia 37 tahun. Maryono dan Suminah sudah menghabiskan lima tahun untuk waktu pernikahan mereka berdua.
"Istri saya tuna netra juga. Dia pekerjaannya menyanyi, kalau tidak, jadi tukang pijat tuna netra. Saya pun begitu, bernyanyi, jualan roti, pijat juga bisa," kata pria beruban itu.
Maryono dan Suminah kini tinggal di sebuah kamar kos yang berada di daerah Wirobrajan, Yogyakarta. Dalam sebulan mereka harus membayar uang kos sebesar Rp 400.000.
"Saya belum punya rumah. Dulu sempat punya, tapi dipakai oleh mantan istri saya yang pertama. Saya tidak mengharapkan apa-apa, menyewa kamar kos pun saya sudah bahagia bersama istri saya sekarang," Maryono bercerita.
Maryono dan Suminah belum dikaruniai seorang anak sampai saat ini. Namun Maryono mengaku, ia masih nyaman-nyaman saja tinggal berdua bersama istrinya.
"Terserah Allah saja saya mau dikasihnya kapan, saya terima-terima saja," kata Maryono.
Maryono berkata, sebenarnya ia merasa sedikit kewalahan untuk membayar kos. Ia mengatakan, dengan berjualan roti, ia hanya bisa mendapatkan rata-rata penghasilan sebesar Rp 800.000 sebulan.
Itu pun digunakan untuk Maryono dan Suminah."Saya berharap bisa punya rumah, walaupun hanya Hak Guna Bangunan. Saya merasa kewalahan. Untung saja pemilik kos bisa mengerti, kadang saya bayarnya nyicil," ujar pria berusia 46 tahun itu.
Maryono mengatakan, dirinya tidak pernah merasa kesulitan saat berjualan roti keliling. Ia sangat menikmati ptofesinya sekarang.
"Harus disyukuri, karena Allah masih kasih saya tenaga yang kuat untuk mencari nafkah," ujarnya dengan tersenyum. (tribunjogja.com)