Suharto, Tukang Jodoh Batu dari Yogyakarta
Candi merupakan salah satu peninggalan sejarah purbakala yang sampai saat ini terus dilestarikan
Editor: Gusti Sawabi
Tribunnews.com, Yogya - Candi merupakan salah satu peninggalan sejarah purbakala yang sampai saat ini terus dilestarikan. Beberapa candi pun telah dibuka sebagai tempat wisata. Kemegahan candi di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, membuat banyak wisatawan kagum akan susunan batu-batuan yang menjulang tinggi itu.
Bahkan para wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri berdatangan untuk menikmati keindahan dan kemegahan candi. Namun, sering kali tanpa disadari, candi-candi yang saat ini telah berdiri dan dapat dinikmati keindahannya, dulunya dalam keadaan berserakan karena runtuh, bahkan tertanam di dalam tanah.
Diperlukan sejumlah ahli, juga waktu yang cukup lama untuk membuat candi yang runtuh menjadi berdiri megah. Salah satu profesi yang memiliki andil dalam sebuah proses pemugaran candi adalah steller, penyusun batu-batu candi.
Profesi ini memang asing di telinga masyarakat umum. Meski begitu, orang-orang inilah yang mencari, menyusun, dan menyatukan satu demi satu batuan candi yang runtuh menjadi kembali seperti semula.
Salah satu yang mengeluti profesi sebagai steller adalah Suharto (56). Pria yang tinggal di Dusun Bugisan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah ini telah 35 tahun menjadi penyusun batu candi. Jarinya pun telah berhasil ikut andil dalam pemugaran beberapa candi besar di wilayah Yogyakarta, antara lain Candi Brahma di Kompleks Prambanan, Istana Ratu Boko bagian Keputren, Candi Ijo dan saat ini yang sedang dalam tahap pengerjaan adalah talut Istana Ratu Boko.
Suharto menuturkan, setelah lulus dari SMEA pada tahun 1979 dirinya lantas mendaftarkan diri untuk bekerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta. Saat itulah Suharto diterima sebagai steller.
"Setelah lulus, tahun '79 saya meendaftar dan diterima sebagai steller di BPCB Yogyakarta," ucapnya.
Ia mengaku, awalnya masih bingung dengan pekerjaan itu. Sebab, dia tidak mengetahui cara mencari dan menggabungkan batu-batu yang berserakan menjadi sebuah konstruksi candi.
"Ya awalnya bingung. Lha, batu yang awalnya tersusun lalu ambruk berserakan dan disusun kembali. Kan sulit menemukan jodohnya kalau tidak tahu teknik dan ciri-cirinya," ucapnya.
Namun, berkat pelatihan-pelatihan dan bimbingan dari para seniornya, serta kemauanya untuk belajar, akhirnya bapak tiga anak ini perlahan mengetahui tugas seorang steller.
Meski telah mendapat pelatihan, pekerjaan menyusun batu-batu candi tetap tidak mudah. Sebab, batuan candi satu dengan yang lain itu berbeda. Butuh kecermatan untuk mencari dan menemukan batuan candi yang cocok untuk disatukan.
"Jadi guru saya ya batuan candi itu. Karena batuan candi itu saya belajar banyak dan paham menyatukan mereka ( batuan candi)," tuturnya.
Suharto menjelaskan, setiap kali bekerja ia hanya menggunakan telapak tanganya untuk meraba setiap sisi batu candi. Jari dan telapak tanganya meraba untuk merasakan apakah ketika dipasangkan batu rapat atau tidak, lebar kuncian pas atau tidak, posisinya lurus atau miring.
"Bentuknya tidak bisa asal. Kita harus mengikuti alur batu candi itu membuat bentuk seperti apa," tuturnya.
Proses penyusunan inilah yang membuat pemugaran candi membutuhkan waktu yang cukup lama. Pemasangan memang tidak boleh sembarangan atau asal saja. Jika tidak jodoh maka steller harus mencari lagi di reruntuhan. Sementara reruntuhan batuan candi cukup banyak dan tersebar.
"Kita cari satu per satu dari tumpukan reruntuhan yang banyak itu. Walau mengangkatnya berat tapi kalau tidak jodoh ya ganti lagi, cari lagi," ujarnya.
Menurut Suharto, meski berat mengangkat batu candi, namun tetap harus berhati-hati. Jangan sampai batu candi retak atau patah sedikit pun. Sebab, itu akan mempersulit proses pemasangan dan dapat menghilangkan nilai sejarahnya.
Suharto mengakui pekerjaan sebagai steller terbilang cukup berat. Dia harus bergelut dengan panasnya terik matahari dan beratnya mengangkat batuan candi. Akan tetapi, bagi Suharto profesi ini adalah pilihannya. Sebagai putra bangsa, ia merasa memiliki kewajiban untuk melestarikan situs warisan nenek moyang.
"Ini kan warisan nenek moyang. Ya harus dijaga dan dilestarikan. Bagi saya pekerjaan ini adalah panggilan jiwa," ujarnya.
(Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.