Kerupuk Dicurigai Mengandung Plastik Beredar di Bali
Beberapa murid SDN 3 Bongkasa terkejut melihat kerupuk yang sering mereka makan, tiba-tiba terbakar saat disulut pemantik api.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, MANGUPURA - Beberapa murid SDN 3 Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali, terkejut melihat kerupuk yang sering mereka makan, tiba-tiba terbakar saat disulut pemantik api di kantin sekolah mereka, Senin (14/9/2015) pagi.
Setelah api padam, yang tersisa dari kerupuk yang awalnya berwarna putih terang itu adalah sisa pembakaran berwarna hitam.
Kerupuk-kerupuk tersebut dikemas dalam plastik, ada nama mereknya namun tidak tertera siapa produsennya.
Ketika kerupuk lainnya, yang berwarna kuning, juga disulut, api pun menyala seperti nyala kompor. Dalam keadaan terbakar, bagian kerupuk meneteskan cairan berwarna hitam.
Setelah kobaran api padam, kerupuk yang awalnya berwarna kuning berubah menjadi hitam mengkilap.
Kepala Seksi (Kasi) Perlindungan Konsumen pada Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Diskopperindag) Kabupaten Badung, Ni Made Sosiawati, mengatakan tidak semua makanan yang terbakar saat disulut api merupakan makanan mengandung plastik.
Namun,kerupuk yang digoreng dengan minyak dicampur plastik, akan menyala seperti obor jika kerupuk itu dibakar.
Bekas bakarannya berwarna hitam mengkilap.
"Kalau tidak mengandung bahan (plastik) itu, warna bakaran tidak hitam tapi cokelat kusam. Kemungkinan besar, dua produk ini saat digoreng minyaknya dicampuri plastik," ujar Sosiawati, Senin (14/9/2015).
Meski demikian, Sosiawati mengaku tidak bisa langsung mengambil tindakan terhadap kerupuk yang dicurigai digoreng dengan minyak bercampur plastik.
Alasannya, alamat produsen kerupuk tidak tercantum dalam kemasan, sehingga sulit dilacak.
"Memang sih ada tulisan diproduksi di Sempidi, tapi kemungkinan besar itu hanya tulisan yang belum tentu sesuai kenyataan. Kami akan terus melacak pembuatannya, sebab jika benar-benar mengandung plastik, maka akan sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen," ujarnya.
Berdasarkan data Diskopperindag Badung selama 2014/2015, uji laboratorium terhadap kerupuk belum pernah dilakukan.
Produk-produk yang sudah diuji laboratorium dan ditarik dari peredaran karena mengandung bahan-bahan berbahaya di antaranya jamu Purnajiwa dan permen gabus.
Bu Gusti, penjual kerupuk, juga tidak mengetahui alamat pembuat kerupuk yang biasa dijual di warungnya.
Setiap tiga hari sekali, pemasok kerupuk datang ke warungnya untuk mengganti kerupuk yang tidak laku terjual. Satu kerupuk seharga Rp 1.000.
"Saya tidak tahu alamat yang bikin ini (kerupuk). Tiap tiga hari saya dibawakan oleh penjualnya," ujarnya.
Pantauan Tribun Bali (Tribunnews.com Network), kerupuk-kerupuk dalam kemasan yang tidak mencantumkan alamat produsennya itu tak hanya beredar di kantin sekolah tetapi juga di warung di banjar-banjar.
"Pembelinya tidak banyak. Katanya, rasanya pahit dan bikin mencret," ujar Ni Gusti Rai Adi (62), pedagang di Banjar Kuta Raga, Desa Bongkasa, Abiansemal.
Kepala Diskopperindag Badung, I Ketut Karpiana yang ditemui di kantornya tampak geram menyaksikan rekaman kerupuk terbakar layaknya obor. Dia mengimbau pedagang tidak asal-asalan menerima dagangan yang ditawarkan produsen. Dagangan yang tidak mencantumkan alamat tempat produksinya pada kemasan harus ditolak.
Dari data Diskopperindag, tercatat bahwa Kabupaten Badung memiliki 21 produk makanan ringan yang sudah memiliki izin dan layak jual.
Produk-produk tersebut di antaranya, rempeyek, keripik, kerupuk belut, babi dan sebagainya yang di setiap kemasan berisi label produksi UMKM Badung.
"Pedagang jangan asal jual dagangan. Lihat label dan kemasannya. Kalau berisi alamat produksi dan label UMKM Badung, silakan jual. Kalau tidak ada, sudah pasti produk abal-abal, jangan dijual," ujarnya.