Jamasan Pusaka Kitab Daun Lontar Kalimasodo Tarik Antusiasme Warga
Prosesi jamasan pusaka kitab daun lontar kalimasodo yang diturunkan sang pemilik Mangun Sendjoyo kembali dilakukan di rumah Mugiharjo,
Editor: Sugiyarto
Laporan Reporter Tribun Jogja, Yoseph Hary W
TRIBUNNWS.COM, KULONPROGO - Prosesi jamasan pusaka kitab daun lontar kalimasodo yang diturunkan sang pemilik Mangun Sendjoyo kembali dilakukan di rumah Mugiharjo, warga Dusun Klebakan, Desa Salamrejo, Sentolo, Rabu (14/10/2015).
Bertepatan moment menyambut 1 Suro, pembersihan pusaka berupa kitab itu juga melibatkan dan disaksikan warga sekitar.
Mugiharjo kini merupakan generasi kelima dari Mangun Sendjoyo. Sebagai pemegang kitab daun lontar yang diturunkan leluhurnya itu, Mugiharjo pun berkewajiban melakukan jamasan setiap tahunnya.
Prosesi itu dimulai pagi. Warga selain beberapa terlibat dalam jamasan, banyak pula yang datang untuk menyaksikan.
Mugiharjo memulainya dengan mengeluarkan kitab berusia ratusan tahun itu dari peti penyimpanan.
Kitab yang memang harus dijaga secara hati-hati oleh ahli warisnya ini dikeluarkan masih dalam bentuk gulungan. Ahli waris dan warga pun melakukan prosesi dengan mengoleskannya minyak kasturi.
Intinya, pembersihan dilakukan agar tulisan di dalamnya terjaga utuh.
"Dulu hanya keluarga yang boleh menjamas. Sekarang warga terlibat. Ini agar semua ikut melestarikannya," kata Mugoharjo.
Kitab sepanjang 40 sentimeter dan lebar lima sentimeter berbahan daun lontar kalimasodo itu diyakini ada sejak zaman Sultan Agung di Kerajaan Mataram. Isinya merupakan tulisan bahasa Jawa Kawi.
Meski demikian, sampai saat ini belum ada yang dapat membaca pesan tulisan secara detail.
Inti yang dapat diungkap, sejauh ini kitab daun lontar itu berisi kalimat syahadat petunjuk jalan kehidupan manusia.
Menurutnya, dahulu kitab itu diberikan Sultan Agung kepada eyangnya bernama Kyai Jlegong Kethok. Hal ini sebagai penghargaan atas jasa kyai mengusir bangsa penjajah.
Begitu sang kyai meninggal, konon kabarnya dihukum mati akibat suatu peristiwa, kitab itu diturunkan kepada adiknya, Panji Darmo Gathi, yang tak lain adalah leluhur Mangun Sendjoyo.
Di tangan Mugiharjo, kitab itu berarti telah sampai ke generasi kelima.
Seorang warga, Gunanto, menganggap prosesi tersebut merupakan bagian budaya.
"Saya dua kali ikut prosesi ini. Nampaknya kali ini lebih halus jamasannya," ujarnya. (*)