Namanya Melegenda! Bahkan Peneliti Kopi Dunia Belajar pada Petani Aceh Ini
Mahasiswa Taiwan, peneliti kopi dari Australia, Qatar, Jepang, Amerika, India dan sejumlah negara Eropa belajar pada Zaini.
Editor: Robertus Rimawan
"Petani kopi Gayo kelak harus bisa menikmati secara istimewa hasil kebunnya. Tidak seperti selama ini, petani kopi miskin papa. Yang kaya raya pedagang dan spekulannya," keluh Zaini prihatin.
Petani otodidak
Zaini adalah petani kopi otodidak (belajar tanpa jalur formal).
Pengetahuannya tentang budidaya kopi berasal dari belajar sendiri dan pengalamannya sebagai petani.
Ia ingin membagi pengetahuannya dengan sesama petani dan siapa saja yang berhasrat mendalami budidaya kopi.
Itulah antara lain alasan Zaini mendirikan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Maju Bersama.
"Petani kopi Gayo umumnya berlangsung secara turun temurun. Sementara ilmu pengetahuan terus berkembang. Inilah yang senahtiasa kita serap," kata Zaini.
Kebun miliknya saat ini mampu meningkatkan produksi menjadi 1,7 ton per tahun per hektar.
Bandingkan dengan rata-rata produksi kebun kopi milik masyarakat lainnya berkisar 500 Kg -1 ton per hektar per tahun.
Ia pun konsekwen dengan pola pertanian organik. Untuk mendukung itu, Zaini akan memelihara beberapa ekor sapi di kebunnya sebagai penghasil kompos.
"Saya sudah siapkan sedikit lahat untuk peternaka sapi," katanya seraya menunjuk lokasi yang sudah disiapkan. Lebih dari 30 batang kopi sudah ia tebang untuk kandang sapinya.
Kebunnya tak melulu berisi kopi. Ia melakukan tumpang sari dengan jeruk keprok Gayo dan terong agur. Saat mengitari kebunnya, pohon jeruk sedang berbuah lebat. Juga terong agur.
Peluang meningkatkan produksi kebun kopinya masih sangat terbuka. "Dan semua itu harus dilakukan dengan penuh perhatian dan dengan ilmu pengetahuan," katanya.
Lahir di Belang Gele, Aceh Tengah 1965. Pendidikannya SMA Pegasing.
Ia pernah bekerja sebagai penarik retribusi hasil pertanian dan perkebunan di perbatasan Aceh Tengah.
Tapi pekerjaan itu ia tinggalkan dan mencurahkan sepenuhnya kepada kebun kopi sejak 2007.
Ia lalu membuka lahan perkebunan baru di Desa Merah Meger Atu Lintang. Awalnya satu hektar.
Lalu berkembang menjadi dua hektar dan saat ini mencapai enam hektar.
Termasuk mendirian pusat pelatihan. Sampai sekarang terdapat 14 kelompok tani yang tersebar di 14 kecamatan di Aceh Tengah.
Atu Lintang adalah pemukiman transmigrasi yang pada masa konflik Aceh ditinggalkan penghuninya. Kebun milik para transmigran banyak terlantar.
Tapi Zaini melawan arus. Ia justru membuka kebun tatkala masyarakat desa di sana takut berkebun akibat imbas konflik.
Istrinya, Rauda, yang ditugaskan sebagai bidan di desa tersebut mendukung tekad suaminya.
"Tekad dan kerja keras itu akhirnya bisa dinikmati sekarang," kata Zaini.
Sejumlah organisasi lembaga swadaya masyarakat internasional seperti IOM mengucurkan bantuan dalam program Aceh Economic Development Financial Facility (AEDFF).
Zaini kini mengarahkan usaha kebunnya bukan saja sebagai pusat pelatihan kopi melainkan juga tempat percobaan dan mengembangkan wsata kebun kopi.
Beberapa varietas kopi ia tanam di kebun miliknya, di luar varietas yang sudah direkomendasikan yaitu gayo-1, gayo-2, timtim, ateng super dan lain-lain.
Kegiatan wisata kopi ia kembangkan dengan menggandeng pemerintah setempat. Tapi ia sedikit kecewa, gagasan itu ditanggapi dingin-dingin saja.
Menurutnya masih dibutuhkan sejumlah fasilitas pendukung untuk mendukung gagasan wisata kebun kopi, antara lain penginapan sederhana dan infrastruktur jalan.
"Kalau saya usahakan sendiri, tak kuat modal," ujarnya. Benar juga.(*).