Kisah Ridwan Kamil Bangun Museum Tsunami Aceh: Air Mata, Pengingat dan Pendidik
Konsep ‘menginggat tapi tidak larut dalam kesedihan’ tersebut berhasil dipadukan.
Editor: Wahid Nurdin
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil menyedot perhatian publik saat berkunjung di Banda Aceh dalam rangkaian peringatan 11 tahun tsunami.
Ketika hadir sebagai pembicara pada seminar nasional, di Banda Aceh, Sabtu (26/12), pria yang akrab disapa Kang Emil ini banyak disebut dalam perbandingan menata kota.
Wali kota yang berlatar belakang arsitek ini punya kesan mendalam pada Aceh, lantaran dialah yang mendesain gedung megah nan cantik bernama Museum Tsunami.
Menurutnya, tak mudah merancang gambar bangunan museum tsunami, karena harus mengingat kembali tragedi maha dahsyat yang merenggut ratusan ribu jiwa manusia.
Dibandingkan sederet proyek yang pernah ia tangani, menciptakan Museum Tsunami Aceh menurutnya paling luar biasa.
“Proyek tersulit dalam karya saya ketika menciptakan proyek museum tsunami Aceh. Waktu mendesain banyak air mata tumpah hingga melahirkan karya ini,” kata pria yang akrab disapa Kang Emil ini ketika menjadi pembicara pada seminar nasional bertajuk “Pembangunan Berkelanjutan” di AAC Dayan Dawood Unsyiah, Banda Aceh, Sabtu (26/12).
Pada acara yang dipandu Redaktur Pelaksana Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika tersebut hadir juga Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto, Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, dan Rektor Unsyiah Banda Aceh, Prof Samsul Rizal.
Kang Emil menceritakan, dalam mengerjakan gambar bangunan yang terletak di samping Lapangan Blang Padang dan Kherkoff itu, dirinya harus melihat kembali rekaman video tragedi gempa berkekuatan 9,8 skala ricter (SR) yang menguncang Aceh dan disertai gelombang tsunami pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 silam.
“Ketika saya desain masjid, rumah, dan bangunan lain biasa saja, tapi ketika desain museum tsunami saya belum pernah dan susah. Awalnya saya hanya terpikir membuat museum memorial saja, tapi saya tidak mau seperti itu. Saya mau (museum itu menjadi) pengingat dan mendidik,” ujar dosen Arsitektur ITB ini.
Konsep ‘menginggat tapi tidak larut dalam kesedihan’ tersebut berhasil dipadukan.
Sehingga terciptanya kolam di permukaan museum sebagai penginggat tsunami dan di atasnya terdapat ruang memorial dan edukasi sebagai pendidikan mitigasi.
Sehingga masyarakat Aceh dapat belajar menyelamatkan diri ketika tsunami kembali datang.
Dalam menghasilkan karya yang dinamai Rumoh Aceh as Escape Hill itu, kata Kang Emil, membutuh waktu yang panjang.
Dirinya terpaksa beberapa kali melihat kembali video musibah gempa dan tsunami agar setiap bangunan tersebut memiliki makna.