Popon Zelina, Bayi Cantik yang Lahir di Tengah Pengungsi Gafatar
Di tempat pengungsian, Chatira (25) merasa bahagia karena anak ketiganya lahir dengan selamat dan normal sekitar seminggu yang lalu.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM, TANJUNG SELOR - Di tempat pengungsian, Chatira (25) merasa bahagia karena anak ketiganya lahir dengan selamat dan normal sekitar seminggu yang lalu.
Wanita mantan pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) ini mendapatkan rasa nyaman di gedung Balai Diklat Kabupaten Bulungan Jalan Agatis.
Saat ditemui Tribun, Minggu (14/2), Chatira mengungkapkan, bayi yang dilahirkannya diberi nama Popon Zelina dengan panjang tubuh 51 centimeter dan berat badan 3,2 ons berjenis kelamin perempuan.
"Keluarnya jam sembilan malam lewat delapan menit. Diantar pakai ambulans dari pemerintah daerah. Awalnya sakit tetapi setelah lahir, rasanya senang bisa dapat anak yang sehat," tuturnya.
Chatira mengungkapkan, proses persalinan, dirinya mendapat pelayanan yang memuaskan. "Dari beribadah hingga biaya persalinan semuanya ditanggung. Saya senang semuanya ditanggung sama pemerintah daerah. Tidak sampai keluarkan biaya sepeserpun," ujarnya.
Tempat tinggalnya yang kini berada di lokasi pengungsian, Chatira bersama bayinya, tidur di sebuah ruangan besar bersama pengungsi yang lainnya. Tidur di lantai keramik beralaskan kasur busa. "Tidur di sini saja. Sampai sekarang masih sehat-sehat saja," kata Chariah.
Anaknya diberi nama Popon menurut suaminya artinya adalah perempuan cantik. Kata ini diambil dari bahasa Sunda Jawa Barat. Pemberian nama dianggap sebagai doa, menjadi anak yang cantik, baik fisik maupun tingkah lakunya.
"Saya sangat bersyukur pada Allah. Anak saya terlahir dengan normal, sehat. Saya ingin anak saya bisa menjadi orang yang nasibnya lebih baik dari orangtuanya. Saya tidak akan memaksakan mau jadi apa, itu nanti saya bebaskan ke anak saya," tutur Hartono, suami dari Chariah.
Sedangkan pemberian nama Zelina bersumber dari anak yang kedua. Saat bayi masih dalam kandungan, anak kedua Hartono bercelotoh sambil memegang perut ibunya. "Adeknya kasih nama Zelina saja ya mak," kata Hartono, mengulangi perkataan anaknya yang nomor dua.
Dia kini sudah pasrah, mengikuti petunjuk dari pemerintah kabupaten. Apabila nanti kebijakannya dipulangkan, dirinya dan keluarga intinya siap saja. Sebab sebelum merantau di Tanjung Selor, Hartono bekerja sebagai buruh supir di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
"Saya merantau tadinya ingin mengubah nasib. Saya sudah bosan menjadi supir sudah tujuh tahun. Nanti kalau disuruh pulang lagi ke Jawa Barat, saya masih mau mencari-cari pekerjaan lain," ujar pria berumur 48 tahun ini. (Budi Susilo)