Anak Korban Kekerasan Berpotensi Dendam dan Jadi Pelaku Kekerasan
Anak lebih rentan dapat perlakuan kekerasan di daerah yang dekat tambang atau perkebunan
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Kaltim Rafan Dwinanto
TRIBUNNEWS.COM, BALIKPAPAN - Kebanyakan masyarakat beranggapan kekerasan pada anak hanya fisik dan seksual, beberapa jenis mulai kekerasan secara fisik, psikis, seksual, eksploitasi, dan penelantaran.
Kekerasan psikis misalnya, anak dipanggil si Gendut yang masuk kategori kekerasan psikis, karena dirasakan oleh hati si anak.
"Kemudian kejahatan eksploitasi anak seperti disuruh mengemis, mencari nafkah, padahal usia sekolah," kata Agustinawati SH, MH, Sekretaris Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak Unmul, Rabu (24/2/2016)
Bahkan di Samarinda, kata dia ada ibu yang tega menjual anaknya, dan menyaksikan anaknya "digituin" lelaki hidung belang, belum lagi kategori penelantaran.
Jika merujuk angka, Samarinda memang tertinggi kasus kekerasan terhadap anak dibanding kabupaten/kota lain di Kaltim namun bukan berarti daerah lain itu aman.
Anak lebih rentan dapat perlakuan kekerasan di daerah yang dekat tambang atau perkebunan.
Mengapa di Samarinda tinggi? Tidak lain karena warga mudah mengadu. Bisa ke Dinas Sosial, kepolisian, LSM.
"Nah, bagaimana di pedalaman yang jauh dari akses. Mereka mau lapor kemana? Terlebih anak ini ada yang terbuka, ada yang hanya memendam apa yang dialami," katanya.
Ini berbahaya. Anak korban kekerasan harus dipulihkan kejiwaannya dari rasa trauma. Jika tidak, dia akan naik tingkat menjadi pelaku kejahatan.
Nyaris semua pelaku kejahatan itu, punya trauma kekerasan di masa kecil.
Contoh kasus yang saya temui di Berau, seoarang anak yang jadi korban perkosaan tapi si anak ini tidak pernah cerita, dia pendam sendiri.
"Akhirnya saat dia sudah beranjak dewasa, dia bunuh pelaku yang pernah memperkosanya itu," katanya.
Peran masyarakat mutlak diperlukan untuk mengatasi kekerasan terhadap anak ini, hanya masyarakat sekitar yang tahu tapi sayangnya, masyarakat kita ini sekarang acuh.
"Jarang sekali mereka peduli karena ada kebiasaan, tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga orang lain," katanya.
Masyarakat tidak peduli saat melihat, mendengar, dan mengetahui tetangganya melakukan kekerasan terhadap anak.
Jika kebiasaan seperti ini berlanjut terus, generasi kita bisa habis. Intinya pengawasan sosial perlu ditingkatkan.
Perlu dicatat, kasus kekerasan terhadap anak ini bersifat delik aduan.
"Jadi, jika tidak ada yang mengadu, tidak ada yang keberatan, penegak hukum juga tidak bisa masuk untuk memproses," katanya.