Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Polisi Nyambi jadi Pemulung, Gara-garanya Bripka Seladi Ditipu dan Berutang Rp 150 Juta

Seladi menceritakan kisah panjangnya hingga ia memutuskan nyambi menjadi pemulung dan menolak uang suap pembuatan SIM.

Editor: Robertus Rimawan
zoom-in Polisi Nyambi jadi Pemulung, Gara-garanya Bripka Seladi Ditipu dan Berutang Rp 150 Juta
SURYAMALANG.COM/SRI WAHYUNIK
Beginilah Keseharian Bripka Seladi. 

TRIBUNNEWS.COM, KLOJEN - Berita tentang Bripka Seladi, anggota Polres Malang Kota yang memiliki bisnis sampingan sampah mendapatkan reaksi dari beberapa pihak.

Hal itu pula membuat Seladi dipanggil pimpinannya di Mapolres Malang Kota.

Kamis (19/5/2016) pagi, Wakapolres Malang Kota Kompol Dewa Putu Eka memanggil Seladi dan berbincang dengannya.

"Ya tadi pagi, saya dipanggil pimpinan, Pak Waka. Beliau tanya tentang kenapa saya punya sampingan ini, ya saya jawab apa adanya," ujar Seladi di depan gudang sampahnya di Jalan Dr Wahidin Kecamatan Klojen Kota Malang.

Seladi menceritakan jika dirinya terhimpit kebutuhan ekonomi. 

Tetapi, ia tidak mau mencari tambahan pendapatan dengan memanfaatkan pekerjaannya sebagai polisi.

Ia bercerita, bertahun-tahun lalu, memiliki utang sebesar Rp 150 juta.

Berita Rekomendasi

Ia ketika itu sudah memiliki bisnis sampingan yakni jual beli barang.

"Barang yang saya jual, macam-macam, ada mebel juga televisi. Kemudian saya ditipu orang, barang dibawa tetapi tidak dibayar," ujarnya.

Padahal untuk itu, ia harus memodalinya dengan meminjam ke koperasi kepolisian.

Sampai akhirnya, ia memilih sampah sebagai ladang bisnisnya.

Ia bekerja sampingan sebagai pemulung sejak tahun 2004.

Ia berkeliling memakai sepeda onthelnya untuk mencari sampah.

Sampai delapan tahun silam, ia menempati bangunan kosong yang kini menjadi gudang sampahnya di Jalan Dr Wahidin.

Jadi Polisi

Seladi menjadi polisi sejak tahun 1977.

Dan sejak 16 tahun silam, ia berdinas di Urusan SIM Kantor Satuan Penyelenggara Administrasi (Satpas) Polres Malang Kota.

Lahan yang basah, demikian anggapan orang.

Tetapi Seladi memilih bekerja sampingan untuk menambah penghasilannya demi mencukupi kebutuhan keluarga.

Ia berbisnis jual beli barang, sampai akhirnya cocok berbisnis sampah.

"Sudah jadi anggapan orang, tidak minta pun lho diberi. Seperti contoh, orang nyari SIM, tiga kali tidak lolos. Mereka ada saja yang minta diloloskan sambil ngasih uang."

"Sebenarnya, itu pencari SIM itu bukannya tidak bisa mengikuti ujiannya, tetapi grogi karena ditunggui polisi. Kok ditunggui, orang awam saja kalau ketemu polisi di jalan grogi," ujarnya.

Akhirnya para pencari SIM, ia ajak bicara baik-baik dan diberi pengarahan, termasuk diminta tidak takut dalam menjalani ujian praktik.

Ia memang tidak meloloskan pencari SIM yang memang tidak layak.

Dan kalau ada yang memberinya uang terimakasih, ia menolaknya atau meminta si pemberi menyerahkannya ke masjid.

"Kalau umpama sehari dikasih uang Rp 50.000 kali 20 orang misalnya dikalikan 16 tahun, hasile lek isa mbendung kali Brantas a (bisa membendung sungai Brantas). Bisa beli rumah di Araya (salah satu perumahan elit di Kota Malang). Tetapi saya tidak ingin, karena itu bertentangan dengan hati nurani," terangnya.

Utang Rp 20 juta

Seladi memilih hidup sederhana, dengan gajipolisinya dan penghasilan dari sampah.

Kini setahun menjelang pensiunnya, Seladi masih memiliki utang sebesar Rp 20 juta ke bank dan koperasi.

Hal itu juga ia kemukakan kepada pimpinannya.

Ia tidak malu menceritakan kisahnya kepada pimpinan, karena apa yang ia lakukan adalah pekerjaan halal.

Ia juga tidak pernah mendahulukan pekerjaan mencari dan memilah sampah.

Ia tetap menomorsatukan tugasnya di kepolisian.

Ia selalu ikut apel, mengatur lalu lintas, mengurusi ujian SIM, juga melakukan pengamanan berkala kalau ada kegiatan di Kota Malang.

Ia juga tidak malu kisahnya banyak diketahui orang setelah diberitakan sejumlah media lokal, regional, juga nasional.

Menurutnya, orang-orang malah bangga kepadanya, terutama yang telah mengetahui kisah hidupnya sejak dulu.

Orang-orang mengacungkan jempol kepadanya.

Bahkan ada juga seorang pengusaha mie di Sidoarjo memberikan bantuan mie kepadanya setelah diliput media beberapa hari lalu.

Karena mie yang diberikan banyak, ia membaginya kepada orang-orang di sekitarnya.

Puncaknya, ia dipanggil pimpinannya.

Wakapolres Malang Kota Kompol Dewa Putu Eka mengaku salut kepada Seladi. Ia mengakui memanggil Seladi dan berbincang dengannya.

"Saya salut kepada beliau. Apa yang dia lakukan merupakan pekerjaan halal, dan tidak menelantarkan pekerjaan utamanya sebagai polisi," ujarnya.

Di tengah cibiran masyarakat tentang gaya hidup hedonisme di kalangan polisi, kata Dewa, masih ada contoh polisi yang hidup sederhana, tidak berlebihan.

Sebenarnya, apa yang ia dapat dari kepolisian cukup namun ia mencari penghasilan tambahan, dengan tidak mengganggu tugas utamanya.

"Pekerjaan sampingan ini sudah ia lakukan sejak lama, dan dia konsisten melakoninya. Saya yakin masih banyak Seladi-Seladi lain tetapi tidak terekspos," tegasnya.

Terkait penghargaan untuk Seladi, Dewa menambahkan, ada mekanisme pemberian reward kepada anggota polisi.

Ada tim yang menilai kinerja anggota.

"Kalau soal penghargaan itu ada tim yang menilai, dan tentunya kami akan laporkan ke kapolres."

"Dan tentang persoalan yang menghimpit dia, tentunya kami akan membantu mencarikan solusi," tegasnya.

Apakah juga akan membantu supaya anak Seladi, Rizal Dimas lolos dalam tes polisi, Dewa menegaskan kalau itu tidak bisa dilakukan.

Sebab perekrutan polisi, telah memiliki mekanisme tersendiri dengan menganut azas BETAH (Bersih, Transparan, Akuntabel, dan Humanis). Kalau memang anak Seladi, layak pasti lolos.

Hanya saja, jumlah penerimaan polisi di Indonesia juga sesuai dengan kuota yang telah ditentukan.

Pemulung sampah

Seladi adalah polisi. Tetapi ia juga memiliki sampingan pekerjaan menjadi pemulung.

Maksudnya, usai lepas dinas, laki-laki berusia 57 tahun itu, memilah sampah. Bersama anak, dan dua orang temannya, ia memilah sampah yang telah diambil dari seputaran Stasiun Kota Baru Malang.

"Sudah delapan tahun bekerja sampingan ini. Sampah ini rezeki, sayang kalau dibiarkan," ujar Seladi kepada Surya.

Selama delapan tahun itu, ia memulai dengan berkeliling mengumpulkan sampah. Ia mengendarai sepeda onthelnya.

Barulah empat tahun terakhir, ia menempati bangunan kosong di Jalan Dr Wahidin. Ia tidak lagi berkeliling mencari sampah, tetapi tinggal memilahnya.

Temannya yang mengambil sampah memakai mobil bak terbuka, kemudian dikumpulkan di gudang untuk dipilah.

Seladi tetap memilah sampah dan barang rongsokan. "Tidak jijik, ini kan juga rezeki saya," imbuhnya.

Pendapatan dari sampah cukup membantu ekonomi keluarga.

Meskipun menurut Seladi, gajinya sebagai polisi tetap lebih besar daripada penghasilan dari penjualan sampah. (Suryamalang/Sri Wahyunik)

Sumber: Surya Malang
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas