Suka Duka Sopir Ambulans, Mulai Penghasilan Minim Hingga Diikuti Roh
Namun usut punya usut, akhirnya Yusran paham bahwa jenazah yang diantarnya itu, semasa hidup memiliki dua istri.
Editor: Wahid Nurdin
“Saya bingung saat itu, sebab di Banda Aceh keluarga yang mengurus pengantaran jenazah lain orangnya, namun tiba-tiba di tengah jalan dihentikan oleh orang lain lagi yang mengaku keluarga korban dan meminta dibawa ke kampung yang berbeda dari tujuan awal,” ujar Yusran, mengenang kejadian itu.
Namun usut punya usut, akhirnya Yusran paham bahwa jenazah yang diantarnya itu, semasa hidup memiliki dua istri.
Mereka tinggal di desa berbeda di kawasan Keude Kuta Binjei, Kecamatan Julok, Aceh Timur.
“Jadi, yang menghadang saya saat itu adalah keluarga istri muda jenazah, yang tidak rela jenazah dikebumikan di kampung istri tua,” kata Yusran.
Di Aceh, kata Yusran, kejadian serupa kerap terjadi. Teman-teman seprofesi dengannya juga kerap bercerita kasus penghadangan jenazah di tengah jalan.
Ada memang yang bisa diselesaikan baik-baik. Namun ada juga yang terpaksa harus diselesaikan dengan ‘tipu-tipu’.
“Saat ada yang menghadang seperti itu, kami terpaksa harus menipu orang yang menghadang dengan menanyakan nama jenazah yang mereka maksud. Lalu, kami beritahu bahwa jenazah yang dimaksud berada dalam ambulans lain yang juga sedang dalam perjalanan. Dengan cara itu kami lolos dari masalah perebutan jenazah,” kisahnya.
Masalah lain yang dihadapi tak hanya itu. Luasnya wilayah Aceh dan minimnya infrastruktur juga berdampak bagi sopir ambulans saat mengantar jenazah ke wilayah terpencil.
Yusran mengatakan, saat ini untuk mengantarkan jenazah ke Aceh Tenggara, Singkil, Gayo Lues atau Subulussalam, sopir ambulans membutuhkan waktu hingga tiga hari untuk pulang-pergi.
Kondisi jalan yang ditempuh pun tak mudah, melangkahi pegunungan dan jalan berlobang. Jika jenazah yang diantar tujuan pulau Simeulue, maka sopir harus menginap satu-dua malam di dalam kapal feri, karena kapal hanya berangkat pada malam hari.
“Pernah dialami oleh sopir ambulans RSUZA saat akan menyeberang ke Simeulue dia lupa membeli tiket pulang, sehingga saat pulang tiket sudah habis, terpaksalah dia menginap lebih lama di pulau itu,” ujarnya.
Lain lagi cerita Sayuti (44), yang juga sopir ambulans di RSUZA. Dia menceritakan, pada suatu waktu ia mengendarai ambulans untuk mengantar jenazah ke Kutacane, menembus jalan berliku di Pegunungan Ise-Ise, Gayo Lues, dalam kegelapan malam.
Malang tak dapat dihindari, ban mobil yang ia kendarai pecah. Karena waktu sudah memasuki malam hari, ia tak berharap bantuan datang. Akhirnya ia harus memakai solusi gila, dengan memasukkan rumput ke dalam ban mobil.
“Pokoknya, mobil harus bisa jalan sampai menemukan bengkel,” kenangnya.