Rektor IKIP PGRI Madiun Menilai Revolusi Mental Kurang Sempurna, Ini Alasannya
“Menurut pribadi saya, isi Revolusi Mental kurang sempurna."
Editor: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM, MADIUN - Revolusi Mental Presiden Joko Widodo akan lebih sempurna jika memasukkan Pancasila di dalamnya.
Sikap tegas untuk mempertahankan serta melaksanakan sila-sila Pancasila dirasa perlu untuk menyempurnakan butir-butir Revolusi Mental yang dicanangkan oleh Joko Widodo.
Demikian ditegaskan oleh Rektor IKIP PGRI Madiun, DR H Parji MPd pada seminar dan buka bersama di Universitas Katolik Widya Mandala (UNWIMA), Madiun dengan thema “Memperkuat Pancasila Di Tengah Arus Modernisasi Dengan Melaksanakan Sila-Silanya”, Selasa (21/6/2016).
Hadir sebagai pembicara adalah, DR H Parji MPd (Rektor IKIP PGRI Madiun), Hermawi Taslim (Ketua Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Republik Indonesia – Forkoma PMKRI) dan AM Putut Prabantoro (Ketua Gerakan Ekayastra Unmada – Semangat Satu Bangsa). Seminar dipandu oleh Tri Agung Kristanto (Waredpel Harian Kompas).
Jargon Revolusi Mental ala Joko Widodo antara lain berisi bahwa dalam kehidupan sehari-hari, praktik revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong royong. Revolusi Mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.
“Menurut pribadi saya, isi Revolusi Mental kurang sempurna. Seharusnya Revolusi Mental itu memasukkan komitmen mempertahankan, menjaga dan melaksanakan sila-sila Pancasila."
"Memasukkan Pancasila dalam Revolusi Mental itu membuat jargon tersebut sempurna. Mengapa ? Karena pelaksanaan sila-sila Pancasila setelah Orde Reformasi ternyata sangat mundur dan tidak konsisten,” ujar Parji.
Sejak munculnya Orde Reformasi, Pancasila dimarjinalkan dan dianggap tidak berarti. Pancasila dianggap sebagai produk Orde Baru yang telah menggunakan Pancasila sebagai alat kekuasaan.
Namun itu terjadi karena keputusan sebuah rezim dan bukan keputusan bangsa, sehingga memarjinalkan Pancasila merupakan kekeliruan yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
“Terjadinya banyak intoleransi di negara ini menunjukkan bahwa sila-sila tidak dilaksanakan dan Pancasila dimandulkan."
"Hal yang sama juga tindak kriminal yang terjadi di dalam keluarga, dalam masyarakat menunjukkan Pancasila tidak dianggap sebagai nilai luhur yang harusnya dihayati dan dilaksanakan. Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler,” tegas Parji.
Sementara itu Hermawi Taslim menegaskan, sudah saatnya para pemimpin bangsa menunjukkan keteladan dalam bentuk satu kata dan perbuatan.
Kekacauan yang terjadi dalam penyelesaian masalah bangsa akibat para tokoh masyarakat dan pemimpin bangsa tidak memiliki integritas dalam perkataan dan perbuatannya.
“Bahaya yang paling besar dihadapi Pancasila adalah korupsi yang terus merajalela dan hal ini berpontensi menjadikan Indonesia sebagai negara gagal,” tegasnya.
Sedangkan Putut Prabantoro menjelaskan bahwa Pancasila merupakan anugerah bagi Indonesia.
Dalam perjalanannya sebagai Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada – Semangat Satu Bangsa ke berbagai negara termasuk Vatikan, Polandia, Russia, China dan Korea Utara, bangsa Indonesia harus bangga dengan Pancasilanya.
“Tanpa Pancasila, Indonesia tidak ada dan tanpa Indonesia, Pancasila tidak ada. Jangan pernah mencabut Pancasila dari tanah Indonesia dan demikian pula sebaliknya."
"Oleh karena itu adalah kewajiban setiap orang yang mengaku sebagai warga negara Indonesia untuk mempertahankan dan sekaligus mengamalkan Pancasila,” tegasnya.(*)