Penuturan Suhendro, Petugas yang Memandikan Terpidana Mati
Proses memandikan jenazah itu panjang. Setelah (terpidana) ditembak, harus dipastikan dulu sudah meninggal atau belum lalu dijahit lukanya
Editor: Wahid Nurdin
Laporan wartawan Tribun Jateng, Adi Prianggoro
TRIBUNJATENG.COM, CILACAP - Cerita dibalik eksekusi mati para terpidana mati turut dirasakan Suhendro Putro (62), pria yang bertugas memandikan jenazah para terpidana.
Pria yang sudah sejak 1992 bertugas memandikan jenazah ini turut dipanggil menjelang eksekusi 14 terpidana mati di Nusakambangan.
"Saya diminta kumpul di Polres Cilacap Kamis malam pukul 20.00 WIB lalu berangkat bareng‑bareng ke Nusakambangan," kata Suhendro kepada Tribunnews, Kamis (28/7/2016).
Karena itulah diyakini bahwa para terpidana mati dieksekusi pada Kamis Pon malam atau Jumat (29/7/2016) Kliwon dinihari.
Suhendro menyatakan dirinya sedianya bertugas memandikan 10 jenazah dari total 14 terpidana yang dieksekusi mati, meski dalam eksekusi Jumat dinihari tadi baru empat terpidana yang dieksekusi.
Kesepuluh terpidana mati yang harus dimandikan Suhendro adalah tujuh terpidana beragama Kristen dan tiga terpidana beragama Katolik.
"Yang memandikan jenazah dari Kristen 11 orang dan Katolik ada enam orang," ungkap jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Cilacap tersebut.
Suhendro menceritakan waktu untuk memandikan satu jenazah sekitar 60 menit.
“Proses memandikan jenazah itu panjang. Setelah (terpidana) ditembak, harus dipastikan dulu sudah meninggal atau belum lalu dijahit lukanya, dimandikan, dipakaikan baju," terangnya.
Suhendro bukan kali pertama memandikan jenazah terpidana mati. Pada eksekusi tahap pertama, Suhendro memandikan lima jenazah terpidana dan pada eksekusi mati tahap kedua memandikan tujuh jenazah.
"Grogi sih tidak, tapi memang ini tidak ringan. Saya memandikan jenazah sudah sejak tahun 1992," terangnya.
Pada eksekusi mati tahap pertama dan kedua, Suhendro bahkan menyediakan perlengkapan kematian untuk jenazah terpidana mati. Di antaranya peti, salib, dan lainnya.
"Tetapi untuk eksekusi tahap ketiga kali ini saya tidak diminta menyediakan perlengkapan kematian. Semua perlengkapan kematian jenazah terpidana sudah disediakan pihak kejaksaan dan kepolisian," ungkapnya.
Jelang detik-detik eksekusi tak memengaruhi aktivitas masyarakat di sekitar Pulau Nusakambangan, Cilacap. Warga setempat, Kendar (34) bertutur, masyarakat sudah terbiasa dengan pelaksanaan eksekusi mati.
"Ini (pelaksanaan eksekusi mati) bukan yang pertama kali. Masyarakat tidak takut, meski kali ini pelaksanaannya pada malam Jumat Kliwon yang biasanya dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat mistis," kata Kendar saat ditemui di rumahnya di Kampung Wijaya Pura, Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap.
Rumah Kendar hanya berjarak beberapa meter dari Dermaga Wijaya Pura, akses utama menuju Pulau Nusakambangan. Kendar menyebut kawasan dermaga dan Pulau Nusakambangan memang dikenal angker.
"Saya beberapa kali melihat mahluk gaib,” cetusnya. "Pernah melihat kuntil anak, kemudian sosok sosok pria yang jelas bukan manusia. Tetapi saya dan masyarakat di sini sudah terbiasa dan tidak takut," terang lelaki yang juga punya warung makan di dekat Dermaga Wijaya Pura.
Menurut Kendar, masyarakat di kampungnya punya kepercayaan bila ada seseorang meninggal pada malam Jumat Kliwon justru sebagai 'hari baik'.
"Jadi warga percaya kalau ada orang meninggal pada malam Jumat Kliwon malah banyak temannya," ungkap Kendar.
Pendapat serupa juga diungkapkan Sukesih (54), warga Desa Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan. Wanita yang sudah memiliki lima cucu itu sudah terbiasa dengan 'keangkeran' Pulau Nusakambangan.
"Tidak ada yang perlu ditakuti. Setelah eksekusi mati, jenazah dibawa ke luar (dari Nusakambangan), dan masyarakat beraktivitas seperti biasa," terangnya.
Hujan deras diiringi petir
Sementara itu, Kamis (28/7) jelang tengah malam, hujan deras turun di sekitar Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap.
Warga setempat yakin bila setiap akan ada proses eksekusi mati biasanya turun hujan.
"Padahal sudah beberapa hari belakangan ini di sini tidak hujan," kata Kendar (34).
Hujan deras disertai suara halilintar membuat masyarakat yang semula berkumpul di depan Dermaga Wijaya Pura pun membubarkan diri.
"Dulu saat eksekusi pertama dan kedua juga hujan deras," tambah Kendar. (tribunjateng/cetak)