Begini Kisahnya Hingga Masjid di Samarinda Ini Dikuasai Kelompok Radikal
Masjid tanpa nama yang dijadikan markas kelompok radikal di Samarinda diambil alih masyarakat.
Editor: Robertus Rimawan
TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Masjid tanpa nama yang dijadikan markas kelompok radikal di Samarinda diambil alih masyarakat.
Masjid tersebut kemudian diberi nama Al Islah.
Masjid tersebut persis berhadapan dengan Gereja Oikumene Sengkotek, Samarinda, yang menjadi sasaran teror bom kelompok radikal pada Minggu (13/11/2016) lalu.
Hari ini, Jumat (18/11/2016), masyarakat memakai masjid Al Islah untuk shalat Jumat perdana.
Padahal, sebelumnya, masjid tanpa nama itu tidak dibuka untuk umum dan hanya digunakan oleh kelompok radikal, termasuk tersangka pelaku teroris, Johanda alias Jo.
Camat Loa Janan Ilir, Nofiansyah Indra Hakim, mengatakan, nama Al Islah diambil karena memiliki arti perdamaian.
Warga sekitar masjid ingin suasana lingkungan tempat tinggal mereka selalu aman dan damai meski berdampingan dengan tempat ibadah agama lain.
“Kita mengembalikan fungsi seperti semula. Masjid ini mulanya kan untuk berbagai pihak juga untuk fardu kifayah jadi difungsikan seperti biasa. Kita ambil alih, ini masjid milik masyarakat,” ujarnya.
Menurut dia, dulunya masjid tersebut dipakai seperti biasa oleh masyarakat dan hanya berbentuk mushala.
Tiba-tiba datanglah sekelompok orang, yang salah satunya adalah Jo, menempati masjid tersebut.
Jo bahkan tinggal di masjid tersebut dan sekaligus menjaganya.
Ketika kelompok Jo datang ke masjid itu, nama mushala berubah menjadi masjid Mujahidin.
Namun, lama-kelamaan, masjid itu tidak boleh digunakan oleh masyarakat dan plang namanya dicabut.
“Sebelumnya, mushala ini milik masyarakat karena ditempati oleh tersangka, ya kita percayakan."
"Tiba-tiba dia ambil alih dengan kelompoknya itu, namanya diganti jadi masjid, dan lama-lama ditutup sama dia. Kelompok itu yang akhirnya menguasai masjid yang di dalamnya banyak ditemukan barang-barang milik teroris,” ungkapnya.
Masjid ini akan difungsikan kembali untuk ibadah dan aktivitas masyarakat lainnya, seperti belajar Al Quran.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kota Samarinda, Masdar Amin, mengatakan, masjid tersebut dibangun oleh masyarakat sekitar Sengkotek Loajanan.
“Masjid ini masyarakat yang bangun, artinya wajar saja kalau masyarakat kita yang pakai. Bukan mengambil alih karena ini punya masyarakat, ya kita kembalikan kepada masyarakat yang membangun masjid ini,” ujarnya.
Sebelum meledakkan bom di Gereja Oikumene, pelaku teror bom bernama Johanda alias Jo tinggal di kamar bagian belakang masjid.
“Pelaku tinggal di sini tanpa berinteraksi dengan masyarakat. Masjid pun selalu dikunci sama dia sehingga tidak ada masyarakat yang menggunakan masjid,” pungkasnya.
Sejak kelompok radikal menguasai masjid ini, warga memilih tak terlibat dalam kegiatan masjid.
Terlebih lagi, warga merasa ada aktivitas berbeda dari pengguna masjid sebelumnya. (Kompas.com Kontributor Samarinda/ Gusti Nara)