Tradisi Endog Abang di Perayaan Sekaten di Yogyakarta
Sambil duduk di dekat Pagongan Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, tangan-tangan tua Cipto Dikromo (75) terampil menghiasi lidi dengan hiasan rumbai.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Jogja, Khaerur Reza
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Sambil duduk di dekat Pagongan Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, tangan-tangan tua Cipto Dikromo (75) terampil menghiasi lidi dengan hiasan rumbai.
Di sampingnya terdapat puluhan bulatan lonjong telur berwarna merah menyala, terhidang dengan rapi di atas tampah nampak menggoda.
Wanita asal Dagen Yogyakarta tersebut kemudian melubangi dua ujung telur tersebut dengan gunting, lalu menancapkannya di potongan batang pisang yang sudah disiapkan.
"Tigangewu mawon mas (Rp 3000 saja mas)," ujar Cipto ramah menawarkan telur merah tersebut kepada Tribun Jogja, Selasa (6/12/2016) siang.
Baru hari ini Cipto menjual makanan unik tepatnya tujuh hari terakhir perayaan Sekaten, seusai dua buah gamelan Keraton dibawa ke Pagongan Masjid Gedhe Yogyakarta.
Cipto satu dari sekian banyak penjual telur merah musiman yang ada di sekitar kawasan Masjid Gedhe. Hampir semua penjual makanan khas menusukkan endog abang dengan batang lidi yang dihiasi rumbai.
Selain telur merah ada makanan khas lain yang tiba-tiba marak di 7 hari terakhir Sekaten, yaitu peralatan nginang yang dijual sepaket Rp 1000, sego gurih yang disajikan dengan aneka kacang-kacangan.
Ketiga jenis makanan tersebut memang tidak bisa dipisahkan dan selalu jadi buruan di masa sekaten, terutama dalam 7 hari terakhir Sekaten.
Kedua makanan tersebut memang sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun lalu dan hingga kini masih tetap bertahan.
Cipto yang sempat merasakan ganasnya penjajahan Jepang di Indonesia masih mengingat betul bagaimana saat kecil dahulu dia sering diajak orangtuanya ke Sekaten untuk membeli endog abang.
"Saya dulu kecilnya juga pasti beli endog abang ini, dulunya Sekaten belum seramai sekarang," kenangnya.
Sudah beberapa tahun terakhir ia berjualan endog abang. Biasanya ia mulai menggelar dagangannya selepas Zuhur sampai Magrib selama seminggu penuh dan meninggalkan pekerjaan hariannya di pasar.
"Sudah tradisi jadi kalau Sekaten pasti jualan di sini, kalau tidak kayak ada yang kurang," ujar Cipto.
Telur merah dibuat secara dadakan pada pagi harinya guna menyajikan telur yang terus fresh setiap harinya kepada pembelinya.
Cara memasaknya sendiri sebenarnya sama dengan cara memasak pada biasanya, yaitu telur ayam direbus hingga matang sebelum kemudian dilapisi dengan pewarna makanan berwarna merah.
Cara memberikan pewarna makanan sendiri harus saat telur masih hangat dengan pewarna yang juga dalam keadaan hangat.
"Kalau nggak hangat nantinya jadi kurang merahnya jadi hangatnya harus pas," ujarnya.
Walaupun memang mendapat keuntungan dari berjualan endog abang, namun menurutnya ada hal lain yang tidak kalah penting yaitu mendapat berkah dari perayaan Sekaten.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, selain berjualan dia juga berdoa supaya mendapatkan berkah dalam sekaten tahun ini agar kehidupan lebih baik.