Rekonstruksi Santri Tewas di Ponpes Disembunyikan dari Keluarga Korban
Rekonstruksi kasus penganiayaan yang menyebabkan santri di Ponpes Modern Selamat yang dilakukan penyidik Polres Kendal dilangsungkan secara tertutup.
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Dini Suciatiningrum
TRIBUNNEWS.COM, KENDAL - Rekonstruksi kasus penganiayaan yang menyebabkan santri di Pondok Pesantern (Ponpes) Modern Selamat yang dilakukan penyidik Polres Kendal dilangsungkan secara tertutup.
Kapolres Kendal, AKBP Maulana Hamdan melalui Kasatreskrim Polres, AKP Arwansa mengatakan usai menetapkan tersangka, penyidik polres Kendal langsung melakukan rekonstruksi beberapa hari yang lalu.
Menurut Arwansa, puluhan adegan dipraktikkan tersangka, mulai dari adu cekcok sampai memukul korban berkali-kali.
"Kami lalukan rekonstruksi secara tertutup bagi awak media maupun yang tidak berkepentingan. Bahkan kami sembunyikan juga dari keluarga korban. Mengingat keamanan dan kelancaran jalannya rekonstruksi, selain itu korban maupun pelaku masih di bawah umur," kata Arwansa, Kamis (19/1/2017).
Arwansa mengungkapkan untuk kejahatan yang dilakukan anak-anak, sebisa mungkin dijaga. Hal ini sudah diatur secara khusus oleh Undang-undang.
"Kalau saya ungkapkan, justru kami ini bisa kena sanksi," tegasnya.
Peristiwa tersebut murni masalah solidaritas sesama santri di Ponpes Modern Selamat.
Korban Dimas merasa tidak terima lantaran pelaku MA tidak mendapatkan hukuman karena melakukan pelanggaran kedisiplinan.
Perihal kepastian penyebab meninggalnya pelajar kelas XI ini, pihaknya saat ini masih menunggu hasil autopsi dari Rumah Sakit (RS) Bhayangkara Semarang.
"Segera setelah kami mendapatkan laporannya, akan kami beritahukan," tambahnya.
Sementara pemilik Yayasan Pondok Pesantren Selamat, Slamet Soemadyo malah enggan mengakui kelalaiannya dalam mengawasi para santri di Asrama.
Ia justru menganggap kematian seseorang itu sudah takdir.
"Kematian seseorang bisa kapan saja, tidak bisa direncanakan. Seperti halnya, peristiwa perkelahian santri, ini kan spontanitas tidak direncanakan pertengkaran antara anak dan anak," kata Slamet.
Hal senada dikatakan Kepala Sekolah SMA, Ari Isnaeni. Ia mengklaim justru keamanan dan pengawasan pondok sudah maksimal.
Padahal satu blok asrama ada 12 kamar yang disi delapan santri. Sementara penjaga keamanan, hanya satu orang, dibantu guru, pengasuh pondok, wali kamar.
Selain kejadian terjadi pada saat jam tidur, sehingga menurut wajar jika luput dari pemantauan.
"Kalau keluarga korban mau menuntut silakan, kami siap," kata dia.