Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribun

Kisah Penuh Liku-liku Perjuangan Pasutri Dirikan Sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus

emiliki keterbatasan fisik tak membuat anak-anak enggan bersekolah dan menuntut ilmu.

Editor: Sugiyarto
zoom-in Kisah Penuh Liku-liku Perjuangan Pasutri Dirikan Sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus
surya/galih lintartika
Umar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bhineka yang didirikannya di Kelurahan Glanggang, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, bersama sang istri, Salma. 

Proposal yang berisikan persoalan anak-anak berkebutuhan khusus, hanya diambil dan diletakkan begitu saja.

Jangankan dibaca, dibuka saja tidak. Hal itu, membuatnya merasa tak lagi memiliki harapan kepada orang-orang yang diharapkan bisa memikul tanggungjawabnya.

“Saya justru dianggap seperti pengemis. Saya hanya diberi uang Rp 5.000 tanpa meliha isi proposal,” tandasnya.

Sejak itulah, ia pun termotivasi untuk bisa mendirikan SLB tanpa bantuan masyarakat. Ia mencari peluang untuk memperoleh support dari pemerintah.

Namun, mencari bantuan pemerintah itu juga bukan hal yang mudah. Butuh berbagai syarat untuk bisa mendapatkan bantuan dana, salah satunya memiliki tanah siap bangun.

“Saya jual tanah orang tua, dan saya belikan tanah kosong. Setelah itu, saya ajukan untuk mendapatkan bantuan pembangunan SLB,” ungkapnya.

Caranya itu pun berhasil. Ia mendapatkan bantuan dana Rp 90 juta untuk membangun SLB.

Berita Rekomendasi

SLB yang dibangunnya kini, mampu menampung pelajar mulai dari TK hingga SMA. Meski masih banyak kekurangan dan butuh pengembangan ke depannya.

Butuh Perhatian Khusus
Umar mengaku, kalau mengurus anak-anak berkebutuhan khusus bukanlah perkara mudah. Karena, harus memiliki rasa penuh kesabaran ekstra.

Mengingat, anak-anak berkebutuhan khusus perlu mendapatkan perhatian khusus.

Seperti kasus yang sering dialaminya bersama guru-guru SLB Bhineka.

Tak jarang mereka harus membuat kotoran di dalam kelas bahkan menceboki siswanya yang sudah besar-besar.

“Mereka memang memiliki keterbatasan. Ada yang tuna rungu, tuna grahita atau lemah mental. Sehingga, tak jarang ketika proses belajar mengajar berlangsung, tiba-tiba ada yang buang air besar di kelas. Mau tidak mau, kami harus membersihkan ruangan, bahkan juga menceboki siswa,” ungkapnya.

Meski begitu, ia tak merasa menyesal dengan dunia yang dilakoninya. Justru ia merasa bahagia, bisa memberikan perhatian ataupun berbuat sesuatu untuk mereka yang membutuhkan.

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas