Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kisah Penuh Liku-liku Perjuangan Pasutri Dirikan Sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus

emiliki keterbatasan fisik tak membuat anak-anak enggan bersekolah dan menuntut ilmu.

Editor: Sugiyarto
zoom-in Kisah Penuh Liku-liku Perjuangan Pasutri Dirikan Sekolah untuk Anak Berkebutuhan Khusus
surya/galih lintartika
Umar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bhineka yang didirikannya di Kelurahan Glanggang, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, bersama sang istri, Salma. 

Ia menceritakan, perjalanan mengurus pendidikan anak-anak dibawah keterbatasan, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Banting Stir
Ia mengakui dibutuhkan perjuangan ekstra, karena bukan hanya tenaga semata tetapi juga harta. Meski demikian, ia dan istrinya pun tak patah semangat.

“Justru cobaan itu kami jadikan sebagai pelecut untuk lebih bersemangat dalam menyelesaikan permasalahan dan rintangan,” kata pria alumni SGPLB Surabaya tahun 1986 itu.

Lulus kuliah, pria yang tinggal di Desa Tambakan, Kecamatan Bangil ini sempat mengajar di SLB Probolinggo.

Namun, hal itu tak berlangsung lama, karena paska menikah dengan istrinya ini, ia memutuskan berhenti bekerja jadi guru.

Alasannya sederhana, karena rumah istrinya di Pasuruan, dan pekerjaannya di Probolinggo.

“Saya capek bolak-balik setiap hari. Saya memutuskan untuk berhenti saja, dan mencoba peruntungan sebagai perajin perak,” terangnya.

Berita Rekomendasi

Banting stir menjadi perajin perak, kata Umar tidak mudah. Akhirnya ia pun memilih berhenti menjadi perajin perak karena tidak bisa bersaing dengan perajin perak lainnya.

Ia lalu melihat ABK menjadi gelandangan, pengemis, dan hidup di jalanan. Ia pun bertekad memberikan wadah bagi mereka untuk belajar.

“Bekal saya dulu hanya nekat. Saya saja tidak punya apa-apa, selain ilmu yang saya timba dari kuliah dan pengalaman sewaktu saya mengajar di SLB Probolinggo,” ungkapnya.

Ia pun memutuskan untuk mendirikan SLB pada 1991 silam. Awalnya, ia membangun SLB bersama rekannya, di wilayah Bangil.

Namun, di tengah perjalanan, ada perbedaaan prinsip dirinya dengan rekannya tersebut. Ia pun memilih untuk mundur.

“Buat apa saya bertahan, kalau kita memang sudah beda prinsip. Saya lebih baik mundur saja dari sekolah yang sudah saya rintis dengan teman sejak empat tahun yang lalu,” sambung Umar.

Tahun 1995, bapak dua anak ini pun kembali nekat dan merintis SLB sendiri. Satu-persatu ABK ditampungnya dan diberikan pembelajaran secara pelan-pelan.

Halaman
1234
Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas