Kartini Papua Menginspirasi Masyarakat Sekitar
Perempuan dari suku Dani ini adalah lulusan Administrasi Niaga Universitas Parahyangan Bandung.
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Sosok Hermina Kosay dan Wilma Sawaki adalah perwujudan Kartini di masa kini. Dari pedalaman Papua, mereka mencoba menginspirasi masyarakat sekitar mereka.
Hermina Kosay adalah instruktur di Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN) sejak pertama kali dibuka tahun 2007. Perempuan dari suku Dani ini adalah lulusan Administrasi Niaga Universitas Parahyangan Bandung. IPN sendiri didirikan oleh Freeport sebagai balai latihan kerja untuk mempersiapkan SDM Papua.
Tugasnya di IPN mempersiapkan calon peserta magang (pre apprentice) di PT Freeport Indonesia agar bisa membaca dan berhitung untuk tes berikutnya, sehingga dapat masuk program apprentice. Walaupun terlihat mudah, namun tugasnya sebenarnya berat karena para calon peserta ini dalam enam minggu harus bisa membaca dan berhitung.
Ia bisa mengetahui kemampuan siswanya dari cara duduknya. Siswa yang semangat belajar biasanya duduknya lebih tegak, dibanding temannya yang kadang tertidur. Tantangan yang dirasakan ketika mengajar adalah murid yang ia miliki dalam satu ruangan terdiri dari beragam tingkat kemampuan pendidikan yang berbeda, ada yang sudah bisa membaca tapi belum lancar, ada yang baru mengenal huruf dan bahkan ada yang belum bisa membaca walaupun sudah memiliki ijazah SMU.
Ia pun kerap memberikan motivasi dan membina muridnya tersebut agar semangatnya tidak padam, kalau ingin maju harus mau kerja keras terlebih dahulu.
Yang pertama selalu ia tanamkan, tujuan kalian datang adalah sekolah, bukan bekerja. Namun, calon magang ini merasa mereka sudah pintar, maunya langsung praktik di lapangan.
Pernah suatu kali, ia dihadang kapak, pisau, dan sebagainya karena muridnya marah hasil tesnya tidak lulus. Tapi itu semua tidak membuat sosok ibu tiga anak ini mundur. Ia justru makin tertantang mengabdikan dirinya untuk masyarakat.
“Saya adalah salah satu bagian dari masyarakat ini. Saya sayang dengan mereka dan saya ingin mereka mendapat kehidupan yang lebih baik,” ujar Hermina ketika ditanya latar belakang kenapa ia memilih menjadi instruktur.
“Dengan adanya IPN, fasilitas lengkap dan metode belajarnya yang langsung praktek, ini sangat membantu adik-adik yang usianya produktif. Walaupun kemampuan mereka di bawah standar dan pendidikan mereka tidak tinggi, tapi dengan IPN ini maka mereka dapat memperoleh pelatihan yang tepat sasaran. Kalau boleh tempat ini jangan ditutup karena sangat menolong. Kalau tidak ada IPN, saya yakin masyarakat sekitar terutama adik-adik usia produktif, mereka akan menganggur dan tidak ada kehidupan yang lebih baik, terutama pekerjaan yang sifatnya keahlian.”
Sedangkan Wilma Sasaki, memutuskan menjadi sukarelawan karena suaminya adalah karyawan Freeport, dan ia sebagai istri, merasa terpanggil untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pada tahun 2011, ia mulai bergabung menjadi anggota ibu PKK Tembagapura. Seperti kebanyakan PKK lainnya, ia mengajari ibu-ibu masyarakat di Kampung Banti dan sekitarnya untuk merangkai bunga dari bahan daur ulang, menganyam, dan lainnya.
Karena sering ke kampung-kampung, ia melihat banyak anak-anak usia sekolah dasar belum mengenal huruf, bahkan memegang alat tulis saja tidak bisa. Ibu dari lima anak ini memutuskan untuk fokus mengajar pendidikan anak usia dini (PAUD). Pada bulan April 2012 bersama dengan ibu-ibu PKK Tembagapura dan persatuan wanita gereja, ia membuka PAUD pertamanya di Kampung Kimbeli.
Keberadaan PAUD ini disambut baik oleh masyarakat, PAUD lantas dibuka di tiga kampung lainnya (Banti I, Banti II, Opitawak), dengan murid berkisar 40 orang. Walaupun lokasi kampung yang tidak terlalu berjauhan, namun karena kondisi geografis berupa perbukitan maka ia harus mempersiapkan fisiknya untuk bisa selalu aktif mengunjungi sekolah PAUD nya tersebut.
Aktivitas ini adalah multiplier effect positif dari keberadaan Freeport untuk masyarakat sekitar. Freeport juga kerap mendukung tumbuh kembang anak melalui kegiatan komunitas seperti, pemberian sepatu untuk anak, alat tulis untuk anak, dan program cuci tangan dengan sabun.
Opitawak adalah kampung yang paling jauh karena letaknya di atas bukit, sehingga ia harus berjalan kaki menanjak sejauh 7 Kilometer. Tapi semuanya ia lakukan dengan senang hati dan gembira. Tak hanya mengajar, bersama ibu-ibu PKK ia juga memberikan makanan sehat tambahan dan melatih para ibu menganyam sembari menunggu anaknya belajar.
Suatu kebagiaan tersendiri baginya ketika bertemu dengan salah satu muridnya yang sudah duduk di bangku sekolah dasar, dan ada kejadian menggelikan ketika mereka kerap menyapanya dengan sebutan Ibu Guru.
Bagi ia pribadi dengan melayani masyarakat melalui PAUD ini, tidak ada terbersit rasa jenuh dan kepenatan, yang ada hanya kegembiraan, apalagi setelah anak didiknya bisa membaca menulis dan berhitung. (*)