Sri Hartini Sebut Uang Syukuran itu Sudah Tradisi Setoran dari Dinas
Bupati nonaktif Klaten, Sri Hartini dihadirkan di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang sebagai saksi terkait kasus jual beli jabatan di Pemda Klaten.
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribun Jateng Rahdyan Trijoko Pamungkas
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Bupati nonaktif Klaten, Sri Hartini dihadirkan di Pengadilan Negeri Tipikor Semarang sebagai saksi terkait kasus jual beli jabatan di Pemda Klaten.
Sri Hartini mengatakan, reposisi mutasi jabatan di Kabupaten Klaten, masuk di dalam Susunan Organisasi Tata Kerja (SOTK) sebagaimana aturan dari Mendagri.
Aturan tersebut mengatur Kepala Daerah segera mengesahkan birokrasi baru.
"Dengan begitu saya menjalankan dan diberikan batas waktu sampai akhir Desember 2016. Kemudian munculnya surat Menteri Dalam Negeri, saya membentuk Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Saya masukkan pada SOTK ini jumlah jabatan yang kosong termasuk di lingkungan Dinas Pendidikan," ujarnya, Rabu (26/4/2017).
Saat sidang, Sri mengaku mengenal Kabid Sekolah Dasar Bambang Teguh yang sering diminta untuk mencarikan kandidat pengisi jabatan di Dinas Pendidikan. Dirinya mengenal Bambang karena sering membantunya saat Pilkada.
"Waktu Pilkada Bambang membantu dari Dinas pendidikan saja," Katanya.
Dirinya, mengelak adanya uang syukuran saat pembahasan SOTK. Pengisian jabatan struktural diserahkan kepada masing-masing Dinas.
Untuk Dinas Pendidikan, ia pasarah kepada Bambang Teguh dan Sudirno.
"Saat itu saya tidak memanggil Kepala Dinas Pendidikan, namun yang saya panggil Bambang. Waktu itu saya tidak tahu cuma dari dinas saya serahkan ke Bambang," ujarnya.
Bambang dipanggilnya pada November 2016 membicarakan terkait SOTK baru. Bambang diminta untuk melaporkan jabatan yang kosong dan segera diisi.
Lalu pada Desember Bambang menyerahkan nama-nama kandidat yang akan menduduki jabatan yang kosong.
"Saya tidak bilang kepada Bambang siapa yang berminat menduduki jabatan tersebut. Intinya karena SOTK baru tolong dari Dinas Pak Bambang nanti siapa yang mau menduduki jabatan itu. Untuk memutuskan saya menggunakan Baperjakat," ujarnya.
Menurut dia, Bambang pernah mendatanginya dengan membawa uang. Seingatnya, terakhir kali uang tersebut diserahkan saat KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan.
Uang yang diserahkan tersebut satu diantaranya merupakan dana dari Suramlan.
"Saya cuma dengar nama Ramlan dari usulan Bambang. Jumlah uang yang diajukan Bambang pertama Rp 100 juta, kedua Rp 70 juta, dan uang dari Ramlan Rp 200 juta."
"Saat itu belum menyampaikan jumlah syukuran. Total uang yang diserahkan Bambang Rp 270 juta. Uang itu dari Dinas Pendidikan," ujarnya.
Besaran uang yang diserahkannya tersebut bukan inisiatifnya melainkan ide dari Bambang.
Terkait uang dari Suramlan, pertama kali uang tersebut diserahkan pada Desember 2016 sejumlah Rp 100 juta digunakan untuk promosi Kabid SMP.
"Saya tidak menanyakan kekurangannya. Bambang bilang nitip nanti kekurangannya. Saya tidak nanya kekurangannya."
"Lalu setelah menerima dari Bambang, uang teresebut ditaruh di dalam dos dan disimpan di dalam kamar rumah dinas," ujarnya.
Selain memanggil Bambang, ia juga memanggil Kabid Mutasi Badan Kepegawaian Daerah Slamet untuk mencatat nama-nama yang sudah terdaftar. Pengisian daftar jabatan kosong juga berlaku di dinas lainnya.
"Pengisian dari dinas lain juga ngasih uang syukuran. Hal tersebut memang sudah tradisi. Saya tidak narik (tentukan) nilainya. Dinas-dinas yang mengasih syukuran," tuturnya.
Selain uang dari Suramlan yang disimpannya, juga terdapat kardus lain yang berisi uang syukuran dari dinas lain.
Total uang syukuran yang disimpan di dos sebanyak Rp 1,910 miliar. Uang tersebut didapat dari SOTK.
Setelah uang terkumpul pengangkatan dan pengukuhan jabatan belum sempat dilakukan.
"Uang-uang syukuran masih utuh di dalam dos. Saya menerima uang syukuran baru sekali itu."
"Seharusnya setelah kumpul uangnya, tanggal 30 Desember kemarin dikukuhkan atau dilantik. Tapi karena tertangkap KPK jadi tidak terlaksana," ujarnya. (*)