Ketua Satpol PP/WH Banda Aceh: Qanun Jinayat Mengacu pada Al Quran Jadi Harap Dihormati
Sepasang kekasih gay di Aceh dihukum cambuk karena dianggap melanggar Qanun Jinayat tentang liwath.
TRIBUNNEWS.COM - Sepasang kekasih gay di Aceh dihukum cambuk karena dianggap melanggar Qanun Jinayat tentang liwath. Sebanyak 85 kali pukulan rotan algojo mendarat di punggung keduanya.
Putusan cambuk itu pun dilakukan di halaman masjid dengan ditonton ribuan pasang mata. Tapi, sejumlah pihak mengecamnya. Sebab hukuman cambuk dianggap melanggar hak asasi manusia.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Masjid Syuhada di Desa Lamgugob, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, dibanjiri ratusan manusia. Mereka ingin menyaksikan proses hukuman cambuk terhadap enam orang.
Empat di antaranya dihukum karena melakukan ikhtilat atau bermesraan. Dua lagi, dihukum karena melakukan liwath atau berhubungan seks antara sesama pria.
Di halaman Masjid Syuhada, sebuah panggung setinggi satu meter telah berdiri, dengan dikelilingi pagar besi hitam.
Persis di depan panggung, satu tenda besar memayungi para pejabat pemda setempat. Dari jarak sekitar 100 meter itulah, mereka akan menyaksikan enam orang dieksekusi algojo.
Tepat pukul 10 pagi, eksekusi cambuk dimulai secara bergantian. Pertama, dua pasang lelaki-perempuan yang disangka melanggar qanun ikhtilat. Hingga jelang dhuzur, giliran pasangan gay yang dituduh melanggar qanun liwath.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Banda Aceh, Yusniar, mengatakan hukuman cambuk kepada pasangan gay ini menjadi kasus pertama yang ditangani.
“Liwath sendiri, ini baru yang pertama kita lakukan karena sudah cukup alat bukti dan unsur yang mereka langgar dari wanun jinayat itu sendiri,” ungkap Yusniar.
“Kasus liwath ini yang ditemukan lokasi pelanggaran di ruko, tiga bulan lalu oleh masyarakat sekitar,” tambah Yusniar.
Sepasang kekasih itu berinisial MH dan MT. MH usianya 20 tahun, sedang MT 23 tahun. Kejadian yang menimpa keduanya terjadi akhir Maret lalu, dimana warga Desa Rukoh, Kecamatan Syiah Kuala, menggeruduk keduanya di sebuah kamar kos. Saat itu kira-kira pukul setengah 12 malam.
Saat itu juga mereka langsung diboyong ke petugas Wilayatul Hisbah. Dalam persidangan pertama, Jaksa menuntut keduanya dijatuhi hukuman cambuk sebanyak 80 kali.
Tapi majelis hakim memutus lebih berat. Hingga pada persidangan terakhir 17 Mei, Hakim Mahkamah Syariah menvonis masing-masing 85 kali cambuk dengan rotan.
Keduanya dijerat Pasal 63 ayat 1 Qanun Jinayat yang menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan liwath diancam dengan hukuman paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.
MH, jadi yang pertama dihukum cambuk. Pengunjung pun menyorakinya. Sebanyak 85 pukulan rotan mendarat di punggungnya tanpa jeda. Dengan pakaian gamis putih, ia dilecut algojo sembari berdiri dan kepala tertunduk.
Kemudian MT menyusul. Tapi di cambukan ke-50, ia meringis kesakitan dan minta waktu meredakan nyeri.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Banda Aceh, Yusniar, mengatakan hukuman cambuk di muka umum ditujukan untuk memberi efek jera.
“Memberikan sanksi sosial, jadi memang sengaja hukuman disaksikan dan diberikan berupa fisik. Supaya menimbulkan dampak bahwa pelanggaran yang ada jangan terulang. Kalau hukuman badan sudah biasa. Tapi kalau di muka umum menimbulkan efek domino,” ujar Yusniar.
Hanya saja, ganjaran semacam ini dihujani kritik. Wakil Ketua Eksternal dan Pelapor Khusus Pemenuhan Kelompok Minoritas Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, menyebut pihaknya telah merekomendasikan Pemprov Aceh agar mengevaluasi Qanun Jinayat lantaran tak sesuai dengan Undang-Undang dan semangat hak asasi manusia.
"Komnas HAM menyayangkan apa yang terjadi di Aceh karena pelaksanaan hukuman cambuk itu berlawanan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM). Sebab itu merendahkan martabat manusia. Selain itu, hukuman juga harus melalui proses yang jelas, transparan, dan juga berdasarkan pada hak asasi manusia. Apalagi hukuman cambuk dilakukan atas dugaan yang menurut kami tidak jelas, misalnya terhadap kelompok pasangan sesama jenis, itu diskriminatif,” kata Nurkhoiron.
Tapi, bagi Yusniar, rekomendasi itu tak perlu. Sebab ia mengklaim Qanun Jinayat sejalan dengan keinginan masyarakat Aceh. Lagipula, kata dia, qanun mengacu pada al-quran.
“Masyarakat luar merasa asing, karena liwath tak diatur. Kita khusus punya syariat islam dan qanun disebutkan homo-lesbi, itu masuk dalam jarimah yang dikatagorikan masuk qanun jinayat. Kalau ini pelanggaran HAM, Qanun mengacu pada al-quran jadi harap dihormati. Karena 10 persoalan dalam qanun tertuang dalam al-quran,” terang Yusniar.
“Jadi kalau masyarakat luar menganggap perlu direvisi, silakan saja. Tapi bagi masyarakat Aceh, ini yang tepat dan sangat baik. Syiarnya kepada masyarakat,” tambah Yusniar.
Sementara itu, Hartoyo aktivis LGBT dari OurVoice, yang terbang ke Aceh demi menemani pasangan gay itu justru diteror. Saat proses hukuman cambuk berlangsung, wajahnya difoto beberapa orang tak dikenal. Ia khawatir, kehadirannya akan memperparah kondisi dan korban.
“Aku dicari-cari terus. Keberadaanku jadi membuat berat korban. Makin ketat si WH melindungi korban. Korban sudah dicambuk dan dikejar FPI. Jadi agak susah. Niatku membantu korban mengobati mereka, membuat mereka tenang kan,” ujar Hartoyo.
Namun ia tetap mendesak pemerintah agar mencabut hukuman yang tak manusiawi ini. Pasalnya, hukuman bar-bar seperti ini sudah ditinggalkan negara-negara maju sejak lama.
Akan tetapi, hal itu sepertinya tidak akan mudah. Sebab seluruh pejabat di Aceh mendukung penerapan Qanun Jinayat. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Banda Aceh, Yusniar, malah meminta warga agar tak segan menggeruduk dan melaporkan kejadian serupa.
“Insya Allah kalau kami lihat, di Kota Banda Aceh sudah tahu. Kalau tidak ada pelanggaran tak mungkin. Kalau hukuman ini menimbulkan efek jera jadi takut untuk melakukan. Dan memotivasi desanya supaya jangan ada yang bersifat maksiat. Karena ini menganggu tata kehidupan kampung,” tutup Yusniar.
Penulis: Quinawaty Pasaribu/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)