Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Liang Sebesar Tong Sampah Jadi Sumber Air Warga Desa Cekel

Di alur sungai yang gersang itu, sementara baru ada satu petak spot yang dimanfaatkan warga untuk berburu sumber air dari resapan tampungan air sungai

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Liang Sebesar Tong Sampah Jadi Sumber Air Warga Desa Cekel
KOMPAS.com/Puthut Dwi Putranto
Warga Desa Cekel, Kecamatan Karangrayung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah mengumpulkan air dari lubang galian di dasar sungai yang mengering, Minggu (3/9/2017). Warga terpaksa harus menggali tanah di alur sungai yang tandus demi mendapatkan air akibat kemarau panjang yang melanda wilayah ini 

Baca: Objek Wisata Pemandian Mata le di Aceh Besar Kekeringan

Dari Kota Purwodadi menuju Desa Cekel, perjalanan bisa ditempuh sekitar 1,5 jam.

Akses infrastruktur jalan cukup memadai dilintasi kendaraan.

Saat musim penghujan, kebutuhan air tercukupi, namun ketika memasuki musim panas, warga mulai dirundung gelisah.

"Setiap tahun saat kemarau hal inilah yang pasti kami lakukan. Menggali tanah sungai yang kering mencari sisa-sisa air. Mau bagaimana lagi, sumur juga sudah tak diisi hujan," kata Suwarti (65), warga Desa Cekel kepada Kompas.com, Minggu (3/9/2017).

Dalam sehari, Suwarti yang hidup sebatang kara itu harus bolak-balik dua kali berjalan kaki dari lokasi pengambilan air ke rumahnya yang jaraknya mencapai 2 kilometer.

Suwarti baru berhenti untuk beristirahat setelah empat gentong yang digendongnya terisi penuh.

Berita Rekomendasi

"Saya sudah terbiasa seperti ini sejak kecil. Airnya untuk MCK (mandi, cuci, kakus). Saya hanya berharap pemerintah bisa memudahkan kami dalam mendapatkan air bersih," tutur Suwarti.

Kepala Desa Cekel, Sukamto, menjelaskan, kekeringan telah melanda desanya selama empat bulan sejak awal Mei lalu.

Dari 1.100 kepala keluarga atau sekitar 3.500 jiwa warganya, nyata telah merasakan dampak buruk imbas dari musim kemarau.

"Warga Desa Cekel mayoritas bekerja sebagai petani dan setiap rumah rata-rata punya sumur tadah hujan. Untuk yang mampu, saat kemarau seperti ini memilih membeli air di sendang desa tetangga seharga Rp 3.000 per jeriken. Dalam sehari, setiap orang membutuhkan dua jeriken air kemasan 40 liter setiap jerikennya," jelas Sukamto.

Sukamto mengaku jengkel karena sejauh ini Pemerintah Kabupaten Grobogan belum memberi solusi meski sudah berkali-kali diberitahu. 

"Selalu saja jawabannya lokasinya jauh dan terpencil. Apa tidak ada solusi? Saya itu sedih melihat kondisi warga saya. Kasihan saja melihatnya, warga fokus mencari air bukan mencari penghasilan. Kebutuhan air saja dari tadah hujan. Kalau kemarau ya untung-untungan kita menggali tanah di sungai keruh yang mengering. Biasanya lubang-lubang yang dibuat di alur sungai Desa Cekel bisa bertahan hingga 5 bulan," katanya.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Grobogan, Agus Sulaksono, mengatakan, kondisi kemarau kali ini terhitung lebih parah dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan data dari BPBD Kabupaten Grobogan, tercatat sudah ada sejumlah desa dari lima kecamatan (Kradenan, Kedungjati, Karangrayung, Penawangan dan Grobopgan) yang mulai mengalami kekeringan.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas