Potret Kehidupan Warga di Perbatasan Timor Leste
Bendera merah-putih berkibar di Dusun Uspisera, Desa Ustutun, Kecamatan Wetar Barat, Kabupaten Maluku Barat Daya
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, WETAR BARAT - Bendera merah-putih berkibar di Dusun Uspisera, Desa Ustutun, Kecamatan Wetar Barat, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku pada Rabu (20/9/2017).
Berkibarnya bendera pusaka itu menandakan salah satu wilayah di Pulau Lirang itu masih bagian dari Indonesia.
Pulau seluas 23,62 km persegi itu merupakan pulau terluar dari Indonesia. Meskipun terpisah lautan, wilayah itu berhadapan langsung dengan Pulau Atauro yang merupakan bagian dari Negara Timor Leste. Di batas jalan terakhir Pulau Lirang, terdapat posko perbatasan yang dijaga satuan penugasan pulau terluar dari TNI.
Dusun Uspisera berada di tempat terpencil. Untuk sampai ke tempat tertua dan terujung di pulau itu, dapat ditempuh melalui jalur darat ataupun laut. Jalur darat dilalui dengan cara berjalan kaki di bibir pantai yang menempuh jarak 4 km.
Di sisi kiri dapat melihat pemandangan laut lepas. Sedangkan di sisi kanan terdapat bukit-bukit gersang. Sementara jalur laut menggunakan kapal nelayan dapat ditempuh memakan waktu sekitar 15 menit.
Sungguh miris apabila melihat kehidupan 25 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di tempat itu. Sebab, mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka tinggal di rumah sederhana berjarak sekitar 20 meter dari bibir pantai.
Warga sekitar membuat rumah sederhana itu secara bergotong royong. Mereka memisahkan antara kamar tidur, tempat masak, dan ruang keluarga. Rata-rata ruangan itu terbuat dari anyaman bambu, beratapkan daun rumbia, dan berlantaikan pasir pantai. Untuk buang air, warga tidak mempunyai tempat mandi cuci kakus (MCK) sehingga hanya dibuang di belakang rumah.
Salah satu rumah terdiri dari delapan orang tinggal di rumah berukuran sekitar 8X12 meter tersebut. Untuk memisahkan satu ruangan dengan ruangan lainnya hanya ada anyaman bambu. Orang tua maupun anak-anak, hidup dalam kondisi tempat tinggal yang serba kekurangan tersebut.
"Kami di sini tinggal berenam (anak,-red). Anak pertama berumur 17 tahun. Kami sekolah," ujar seorang anak perempuan dari keluarga tersebut, kepada wartawan, Rabu (20/9/2017).
Untuk menghidupi kehidupan sehari-hari, para lelaki dari keluarga itu mencari nafkah menjadi nelayan. Sekitar enam buah perahu berlabuh di bibir pantai yang menggunakan tali diikat ke pohon. Sejumlah jaring-jaring yang digunakan untuk menangkap ikan ditaruh di dekat rumah.
Sementara itu, perempuan dan sebagian pria bercocok tanam dan memelihara hewan, seperti babi dan kambing. Masyarakat lokal menanam pohon pepaya dan kelor untuk menjadi santapan sehari-hari dan menu pendamping ikan. Hanya sejumlah tanaman saja yang dapat tumbuh di wilayah itu, karena hujan jarang membuat kondisi tanah menjadi gersang.
“Suami bertani. Ada juga (laki-laki,-red) yang menjadi nelayan,” tutur Lisbeth.
Belum ada listrik masuk ke tempat itu sehingga untuk penerangan warga di perbatasan menggunakan pelita ataupun mesin diesel. Untuk menyalakan diesel selama 12 jam diperlukan 10 liter solar, di mana harga 1 liter solar seharga Rp 10 ribu. Sehingga, warga harus merogoh kocek sebesar Rp 100 ribu untuk menyalakan listrik selama 12 jam.
Sayang, karena akses yang sulit dijangkau, maka sebagian besar hasil bumi di tempat itu dipergunakan untuk mereka sendiri. Melihat kondisi di Dusun Uspisera, maka warga memutuskan untuk pindah ke wilayah lain di Pulau Lirang.