Derita Alif, Bocah 9 Tahun di Mojokerto Hidup Dengan Plastik Untuk Menutupi Lubang di Perut
Karena itu, setiap harinya ia harus mengganti plastik biasa tempat usus Alif, supaya tetap terjaga kebersihannya.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, MOJOKERTO - Febrio Nur Alif, bocah sembilan tahun dari dusun/desa Gembongan, Kecamatan Gedek, Kabupaten Mojokerto, sehari-hari harus hidup dengan kantong plastik menempel di perutnya yang berlubang.
Kantong plastik itu sudah menjadi bagian dari tubuhnya selama delapan tahun.
Saat berumur 1 tahun, perutnya harus dibedah untuk jalan keluar feses atau tinja.
"Dari umur satu sampai tujuh bulan, kondisinya normal. Tapi waktu mulai merangkak, baru merasa ada yang aneh. Selalu nangis dan kotoran yang dikeluarkan berupa darah hitam," kata Emik Jayanti, ibunda Alif, saat ditemui Surya, Minggu (10/12) sore.
Sebelum menjalani operasi di RSUD Soetomo Surabaya, Alif sempat menjalani pengobatan di RSUD RA Basoeni Kabupaten Mojokerto. Namun karena keterbatasan alat dan tenaga medis, pihak rumah sakit merujuk ke RSUD dr Soetomo Surabaya.
Operasi berjalan cukup lancar di RSUD dr Soetomo Surabaya. Namun tiap bulan, Alif harus kontrol.
Namun karena keterbatasan biaya, Emik terpaksa menghentikan proses pengobatan di RS.
Karena itu, setiap harinya ia harus mengganti plastik biasa tempat usus Alif, supaya tetap terjaga kebersihannya.
Ya, sejak tak memiliki biaya Emik terpaksa memakai plastik biasa untuk menggantikan kolostomi bag yang harganya cukup mahal.
"Satu kantong kolostomi bag harganya Rp 70 ribu. Memang bisa buat sampai tiga hari satu kali pakai, tapi karena tidak punya uang terpaksa pakai ini. Kalau pakai plastik, sekali kotor bisa langsung ganti. Sehari bisa tujuh kali ganti," jelas Emik.
Belum juga sembuh, Alif yang baru beranjak 2,5 tahun kembali dilanda sakit. Kali ini, dokter menemukan batu cukup besar yang menyumbat saluran air kencing. Alif yang belum genap tiga tahun, harus kembali merasakan dinginnya ruang operasi untuk mengangkat batu tersebut.
"Batunya cukup besar se-lingkaran jempol sama jari telunjuk, kata dokter kencing batu. Waktu itu dokternya juga heran, kok bisa batu sebesar itu ada di anak usia dua setengah tahun," cerita perempuan single parent ini.
Kekhawatiran Emik semakin bertambah ketika Alif kecil tak mau disekolahkan karena kerap diejek oleh teman sebayanya. Bau kotoran yang keluar dari usus dan tertampung dalam kantong plastik, kerap kali mengeluarkan aroma tak sedap.
Untuk itu, Emik terpaksa tak menyekolahkan anaknya saat itu. Baru saat Alif menginjak usia sembilan tahun, Emik memberanikan diri untuk memberikan pendidikan pada putra keduanya tersebut.
"Dulu dia minder sekali, banyak temannya yang suka mengejak katanya bau, kamu bau. Baru sekarang dia mau sekolah, tapi ya begitu cuma sekolah biasa nulis dan membaca. Untuk kegiatan lainnya gak bisa, karena capek sedikit pasti langsung drop dan kesakitan," kata Emik sembari berurai air mata.
Kini, perempuan 33 tahun ini hanya bisa pasrah dan menunggu uluran tangan para dermawan. Karena selama ini, pengobatan Alif selalu mengeluarkan uang dari kantong pribadi.
"Punya BPJS tapi mandiri, dan sekarang tidak bisa pakai lagi karena masih nunggak. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi," tutupnya. (Rorry Nurwawati)