Ratusan Demit Muncul di Lukisan Almarhum Citro Waluyo
Penasaran dengan bentuk makhluk astral atau jin, setan dan sebangsanya? Silakan datang ke Bentara Budaya Yogyakarta.
Editor: Sugiyarto
Laporan Reporter Tribun Jogja Yudha Kristiawan
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA - Penasaran dengan bentuk makhluk astral atau jin, setan dan sebangsanya?
Silakan datang ke Bentara Budaya Yogyakarta.
Di sana penampakan mereka yang oleh masyarakat Jawa kerap disebut demit bisa disaksikan langsung.
Hanya saja penampakan para demit ini dalam bentuk karya seni rupa.
Pameran berjudul Demit BAJU BARAT Demit Ora Ndulit Setan Ora Doyan ini berlangsung di Bentara Budaya Yogyakarta, mulai 7 hingga 15 Februari mendatang.
Di pameran ini pengunjung disuguhi penampakan para demit hasil imajinasi para perupa.
Hermanu, kurator Bentara Budaya Yogyakarta menuturkan, Baju Barat dijadikan judul pameran senirupa Demit ini untuk menggambarkan aneka rupa bentuk Demit Jawa yang oleh perupa zaman dulu kerap dijadikan objek karya.
Melalui pameran ini Bentara Budaya Yogyakarta tertarik dengan pelestarian dan ingin mendokumentasikan seni rupa tradisional ini.
Dalam pameran kali ini digelar karya karya almarhum Citro Waluyo dari Miji Pinilihan Surakarta, yang menggarap tema pesugihan seperti pesugihan Kandang Bubrah, Bulus Jimbung, Jaran Penoleh, Buto Ijo, dan lain-lainnya.
"Kami berupaya untuk menampilkan kembali karya-karya senirupa tradisi ini berdampingan dengan senirupa modern untuk membuat suasana lebih segar," ujar Hermanu di sela persiapan pameran, Selasa (6/2/18).
Dalam catatan Hermanu, sekarang ini perupa tradisional jumlahnya sudah sangat menurun, yang senior sudah banyak yang almarhum sedangkan yang muda sepertinya enggan meneruskan seni rupa tradisi ini.
Kalaupun ada, mereka hanya memakai gaya tradisi untuk karyanya, sedangkan cara-cara tradisi lama sudah ditinggalkannya, semisal cat yang digunakan dahulu memakai bubuk pewarna atau oker, sekarang sudah memakai cat buatan pabrik seperti cat akrilik.
Bila dahulu masih menggunakan ancur merang, sekarang dengan lempoxy dan lain sebagainya.
Zaman memang sudah berubah, bahan-bahan cat tradisi sudah jarang dijumpai lagi.
Pada pameran ini, juga ditampilkan gambar Umbul Setan Setanan yang sudah digambar ulang dari aslinya karena ukurannya yang kecil, jumlahnya cukup banyak, sekitar 100 gambar.
Bentuk setan-setanan ini tentu saja berasal dari imajinasi tukang gambar umbul masa lalu yang dibuat sekitar tahun 1940 an di masa zaman Belanda dan dicetak oleh percetakan Populair Solo.
Gambar umbul ini adalah koleksi dari Ibnu Wibi, Yogyakarta.
Soal tema pameran, Hermanu menjelaskan, bahwa berlatarbelakang manusia hidup di dunia ini sejatinya memang tidak sendirian, di balik alam nyata yang kita jalani ini sekaligus ada alam gaib atau alam maya yang didiami oleh jin, setan, dan makhluk halus lainnya yang jumlahnya sangat banyak.
Manusia sejak zaman purba sampai sekarang mempercayai keberadaan mereka, bahkan dalam agama-agama Samawi keberadaan mereka juga dibenarkan.
Dalam epos Mahabarata diceritakan tentang sosok Batari Durga yang menguasai dunia maya dan bertahta di Setragandamayit, yaitu tempat para jin dan setan bermukim, jumlahnya sangat banyak.
"Menurut catatan kami, setan-setanan ini jumlahnya tidak kurang dari 100 jenis, mereka beranak pinak. Nah, warga Setragandamayit inilah dalam pewayangan disebut dengan Baju Barat,artinya pasukannya Batari Durga," terang Hermanu.
Selain lukisan, ada beberapa karya tradisional lama yang merupakan patung tiga dimensi yang dapat membawa kita ke dimensi lain, yaitu alam gaib.
Patung-patung ini adalah alat untuk mendatangkan arwah yang gentayangan, seperti dalam permainan jailangkung, nini thowok, dan lain sebagainya.
Benda-benda ini merupakan koleksi Subiyanto dari Klaten.
"Untuk memberikan gambaran tentang alam gaib ini, bukan hanya karya-karya lama dan patung kuno saja kami tampilkan, perupa-perupa modern juga kami libatkan dalam pameran ini agar nuansa pamerannya lebih segar dan tidak seram."
"Perupa-perupa yang mendukung pameran ini antara lain, Bambang Herras, Edi Priyanto, Hermanu, Irwanto Lentho, Kliwon, Lindu Prasekti, Nasirun, Pramono Pinunggul. Samuel Indratma, dan Tina Wahyuningsih," imbuh Hermanu.