Aufa Hanya Menatap Pilu, Kampungnya Kini Lenyap Dari Peta Gara-gara Penambangan
Kini semua tinggal kenangan. Sekarang Sungai Ogan sudah masuk daerah perkampungan penduduk.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BATURAJA - Aufa Syarkomi SP, MSc, tokoh pemuda di Kecamatan Semdiangaji (Ogan Kpmering Ulu) kini hanya bisa merindukan kampung halamannya semasa kecil.
Dahulu, sebelum eksploitasi galian C (batu koral, pasir), sepanjang 1 kilometer bantaran sungai dipenuhi rumah warga. Namun kini, semuanya lenyap.
"Ada puluhan rumah termasuk rumah keluarga besar saya harus dipindahkan karena abrasi," kata pria yang juga dikenal cucu pangeran Azhari ini dengan nada pilu.
Bahkan dahulu ada pasar dan lapangan voli ball di bantaran Sungai Ogan di Desa Tubohan, lapangan tempat remaja bermain voli menjelang sore hari. Kini semua tinggal kenangan. Sekarang Sungai Ogan sudah masuk daerah perkampungan penduduk.
Kemudian di Desa Singapura masih dalam kecamatan Semidangaji, kerusakan ekosistem tak kalah parahnya.
Di desa ini alur sungai sudah pindah jalur, alur Ogan yang lama kini sudah mati. Sungai Ogan pindah ke dekat perkampungan penduduk, sekitar tahun 1980-an, ada dua anak sungai dan lahan perkebunan duku dan kelapa yang memisahkan perkampungan penduduk dengan Sungai Ogan. Namun kini Sungai Ogan sudah "mendorong" perkampungan penduduk. Sehingga antara Sungai Ogan dan rumah-rumah penduduk hanya berjarak 1-2 meter lagi.
Seiring meningkatkannya geliat pembangunan infrastruktur di Sumsel, juga berdampak pada besarnya permintaan pasir dan batu koral. Eksploitasi galian C dilakukan besar-besaran tanpa peduli lingkungan, ternyata mengancam lingkungan hidup. Bahaya besarnya, ratusan rumah warga menghilang.
Baca: Memprihatinkan, Catatan Merah Siswa Penganiaya Guru Hingga Akhirnya Tewas
Biasanya setiap sungai pasti memiliki sejumlah pasir dan batu, hanya saja jumlah tersebut tidak sama antar sungai. Jika menambang pasir di sungai yang tidak memiliki hulu di puncak gunung berapi, atau pun hulu dari sungai yang ditambang tersebut berada di gunung yang sudah tidak aktif lagi, maka saat menambang pasir, jumlah pasir atau batu yang ada akan terus berkurang jumlahnya, dan kemungkinan suatu saat nanti pasir atau batu dapat habis karena tidak ada penambahan material.
Salah satu fungsi pasir dan batu di dasar sungai adalah untuk menghambat laju aliran air, hal ini akan sangat terasa pada saat hujan lebat yang menyebabkan debit air sungai meningkat.
Maka saat itu, laju aliran airnya juga akan ikut meningkat. Jika tidak ada penghambat yang dapat mengurangi laju aliran air tersebut, dikhawatirkan akan dapat menyebabkan kerusakan di sepanjang aliran sungai tersebut.
Berbeda halnya dengan penambangan pasir yang ada di sungai yang terus mendapat suplai dari gunung berapi. Jika jika tidak ditambang, maka dapat menyebabkan banjir.
Maka menambang pasir dari sungai yang berasal dari gunung mati, maka dapat menyebabkan laju aliran sungai menjadi meningkat, yang nantinya bisa menyebabkan kerusakan parah di sepanjang aliran sungai.
Lenyap dari Peta
Pentauan Tim Sripo di sejumlah daerah, sudah banyak rumah-rumah warga yang hilang. Jalan-jalan lenyap dari peta desa karena terjadi abrasi (pengikisan) di daerah bantaran sungai.
Seperti terjadi di Sungai Ogan yang mengakibatkan puluhan rumah sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) tergerus. Rumah dan bangunan fasilitas umum ini terpaksa dipindah karena nyaris jatuh ke Sungai.
Penyumbang abrasi terbesar adalah akibat ulah manusia yang melakukan Pengambilan batu koral dalam intensitas yang cukup tinggi dan tidak diikuti reklamasi.
Sudah belasan tahun bahkan puluhan tahun terjadi penambangan dengan mengeruk sebanyak-banyaknya batu koral/pasir menggunakan alat berat yang langsung diturunkan ke Sungai Ogan.
Puluhan rumah dan bangunan fasilitas umum termasuk masjid harus dipindahkan ketempat yang aman.
Pemerintah juga terpaksa membangun talud di beberapa titik jalan yang longsor dengan mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk pembangunan 1 talud saja, dan banyak talud dan beronjong yang harus dibangun untuk menahan abrasi.
Di Kecamatan Semidangaji hingga perbatasan Kabupaten Muaraenim saja dalam tahun 2017 lalu, pemerintah sudah membangun 3 talud di jalur lintas Sumatera.
"Sayangnya meskipun sudah terlihat dampak kerusakan alam yang luar biasa akibat penambangan liar. Namun banyak yang masih belum bisa menangkap sinyal dari sang pencipta," kata Sardi, warga setempat.
Menurutnya, masih saja ada beberapa oknum warga atau bahkan perangkat desanya yang berusaha dengan berbagai cara untuk menambang batu koral di sungai.
Pengikisan oleh arus sungai yang destruktif ini menyebabkan berkurangnnya daerah pinggir Sungai Ogan mulai dari yang paling dekat dengan air sungai.
Jika dibiarkan, abrasi akan terus menggerogoti bagian pinggir sungai hingga air Sungai Ogan akan menggenangi daerah-daerah yang dahulunya dijadikan tempat bermain termasuk pemukiman penduduk disekitar Sungai Ogan.
Ini bukan isapan jempol belaka sebab fenomena yang demikian sudah tampak di kawasan DAS di wilayah beberapa desa dalam Kabupaten OKU.
Di Kecamatan Semidangaji adalah salah contoh kongkrit kerusakan alam akibat penambangan batu koral yang dikelola secara tidak arif.
Diawali di Desa Tubohan, akibat abrasi telah mengikis sedikitnya 1 Km bantaran sungai. Selain itu, dua baris rumah yang jumlahnya mencapai puluhan unit terpaksa dipindahkan karena tergerus abrasi. (Leni Juwita)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.