Menelusuri Isu Jual Beli Mayat untuk Bahan Pratikum Mahasiswa di Semarang
Untuk dokter yang menempuh koas (asisten dokter) maupun yang sedang menempuh pendidikan spesialisasi, mereka harus menyediakan kadaver sendiri
Editor: Hendra Gunawan
"Kalau aku sebatas dengar aja dari obrolan teman-teman. Tapi tidak tahu kampus mana, yang jelas selama saya kuliah sarjana kedokteran di Undip tidak ada iuran buat beli mayat," kata Pratama Aduhuri saat ditemui di halaman gedung forensik RSUP Kariadi, Sabtu (18/2).
Hal senada juga disampaikan Hana, mahasiswa semester 6 Fakultas Kedokteran Undip. Di awal masa kuliah atau semester satu dan dua dirinya sudah langsung berhadapan dengan kadaver untuk mata kuliah anatomi.
Menurutnya, tidak ada iuran yang dikeluarkan untuk kadaver. Mahasiswa hanya dikenakan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Dirinya tidak mengetahui aturan maupun larangan menjual belikan mayat.
"Ngak ada disuruh bayar apa-apa selain bayar uang kuliah (UKT). Kemungkinan kalau menurut saya beli kadavernya dari uang kuliah tapi saya kurang tahu juga," imbuhnya.
Besaran UKT bervariasi, tergantung tingkatan atau golongan. Selebihnya, tidak ada biaya tambahan yang dikeluarkan mahasiswa.
"UKT ada tingkatan/golongannya, dari golongan satu sampai tujuh, kalau saya dapatnya gol empat UKTnya Rp 10 juta. Kalau ngak salah golongan satu itu Rp 500 ribu, gol tujuhnya 19 juta. Penggolongan kayaknya dari gaji orangtua," imbuhnya.
Kadaver di Undip menurut Hana ada yang usianya lebih dari 10 tahun. Kondisinya ada yang masih baru namun ada yang sudah lama.
Artinya, tidak setiap angkatan mendapatkan mayat baru. Jika dianggap kondisi mayat masih layak maka tetap dipakai untuk beberapa tahun ajaran pendidikan.
Alumni Fakultas Kedokteran Kampus Unissula Semarang, Mitha bercerita bahwa kadaver telah disediakan kampus.
Mahasiswa tidak perlu iuran untuk membeli mayat atau mengikuti mata kuliah praktek kadaver. Sebab segala keperluan termasuk mayat sudah disediakan kampus.
"Kayaknya semester awal langsung mulai pegang kadaver. Contohnya modul saraf nanti belajar dan lihat saraf-saraf pada tubuh manusia. Dulu saya ngak ada iuran beli mayat. Cuma bayar semesteran kok. Mayat sudah disediain sama kampus," ujarnya.
Mitha tidak heran adanya isu yang menyeruak terkait jual beli mayat di kalangan kampus atau mahasiswa. Menurutnya, hal tersebut mungkin disebabkan karena ulah mahasiswa yang memanfaatkan peluang.
"Dulu zaman diriku kuliah juga ada teman yang bohongin orangtuanya. Minta uang tiap semester buat iuran beli mayat. Kayaknya sampai Rp 20 jutaan. Uangnya buat gaya hidup mewah," kata Mitha. (Tim)