999 Santri di Kudus Khatamkan Alquran Lewat Tulisan Hanya Dalam Beberapa Menit
Mata Rahmat Oktama (16) menatap tajam kertas bertuliskan ayat al-Quran yang ada di depannya.
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Rifqi Gozali
TRIBUNNEWS.COM, KUDUS – Mata Rahmat Oktama (16) menatap tajam kertas bertuliskan ayat al-Quran yang ada di depannya.
Dengan tangkas, tangan kanannya menuliskan kembali lafaz al-Quran pada kertas kosong ukuran A4.
Santri dari Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin itu tidak butuh waktu lama untuk menyalin kembali lafaz al-Quran melalui tulisan tangannya. Hanya sekitar lima menit dia menyelesaikannya.
“Tidak begitu sulit untuk menulis al-Quran dengan metode naskhi. Metode ini yang paling mudah untuk menulis huruf arab,” kata Rahmat.
Apa yang telah dilakukannya itu merupakan bagian kecil dari penyusunan mushaf al-Quran yang dilakukan oleh 999 santri di kompleks Masjid al-Aqsha atau Masjid Menara Kudus, Selasa (8/5/2018).
Ratusan santri tersebut dari 13 pondok pesantren di Kudus. dari jumlah sebanyak itu, 666 di antaranya merupakan santri laki-laki. Sedangkan sisasnya, 333, merupakan santri perempuan.
Setiap santri mendapat jatah untuk menulis al-Quran sekitar 11 baris. Jatah waktu setengah jam dimanfaatkan oleh santri untuk menulis al-Quran.
Hingga akhirnya tersusunlah satu mushaf utuh al-Quran tulisan tangan para santri.
“Hasil tulisan para santri nanti akan dikumpulkan, setelah itu akan kami ajukan ke lembaga pentashih mushaf al-Quran Kemenag untuk mendapatkan pengesahan,” ujar Ketua Panitia, Muhammad Ihsan.
Tidak hanya itu, hasil duplikat al-Quran tulisan tangan oleh para santri nantinya juga akan dipamerkan dalam pameran di Masjid Istiqlal Jakarta pada akhir Mei mendatang.
“Jadi ini merupakan bagian dari mencatat sejarah, sekaligus mengajak santri dan masyarakat umum untuk menguduskan, memuliakan al-Quran,” katanya.
Ketua Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus, KH Em Najdib Hasan mengtatakan, al-Quran sebagai kitab suci umat Islam sudah sepatutnya menjadi panduan dalam menjalani kehidupan.
Di pesantren, al-Quran sudah menjadi menu wajib. Hampir setiap tahun, pesantren juga menggelar khataman al-Quran baik bi al-Nadzar (menghatamkan dengan melihat) maupun bi al-gaib (menghatamkan tanpa melihat atau hafalan).
Kali ini, katanya, ada yang berbeda, mengkahatamkan al-Quran dengan cara menuliskannya.
“Kalau menulis, kan sudah pasti membaca. Makanya dalam waktu yang bersamaan ratusan santri menulis sekalian membaca al-Quran dari awal sampai akhir,” katanya. (*)