Diberi 'Sangu' Rp 5,5 Juta, Para PSK Ancam Mangkal di Jalanan Jika Lokalisasi Sunan Kuning Ditutup
Sejumlah Pekerja Seks Komersial (WPS) akan menjajakan diri di jalanan jika Resosialisasi Argorejo atau Lokalisasi Sunan Kuning (SK) ditutup.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Sejumlah Pekerja Seks Komersial (WPS) akan menjajakan diri di jalanan jika Resosialisasi Argorejo atau Lokalisasi Sunan Kuning (SK) ditutup. Menurut mereka, tempat penampungan atau lokalisasi dianggap tepat.
Pekerja bisa diajak koordinasi dengan mudah. Dalam pengawasan dan kontrol kesehatan pun gampang.
Kalau tidak, PSK akan menjadi liar, tidak ada pengawasan. Bisa berbisnis esek-esek di pinggir jalan, atau secara online (daring).
Menanggapi hal tersebut, Kepala Satpol PP Kota Semarang, Fajar Purwoto, siap melakukan operasi atau razia rutin.
"Kami akan gencarkan operasi rutin. Sepekan bisa dua kali," tegas Fajar Purwoto.
Menurutnya, penyakit masyarakat tersebut harus diberantas. Apalagi, praktik pelacuran di jalanan merupakan ilegal. Sehingga, ia tidak akan gentar.
Tahapan persiapan dan sosialisasi sudah dilakukan Pemkot Semarang. Hanya tinggal melakukan eksekusi pada Agustus 2019 mendatang.
Dalam waktu dekat ini, akhir Juni, pihaknya akan merobohkan gapura Sunan Kuning.
Baca: Ketua Tim Bravo 5 Minta Relawan Tak Mengharapkan Sesuatu dari Kemenangan Jokowi-Maruf
Tentu saja, pemerintah tidak lepas tangan soal nasib para penghuni atau para Wanita Pekerja Seks (WPS).
Mereka akan diberikan sangu untuk jaminan hidup yang besarannya kurang lebih Rp 5,5 juta.
"Teknis santunan tersebut ada di Dinas Sosial," tuturnya.
Lokasi Sunan Kuning akan diubah menjadi tempat wisata atau kampung tematik, yakni pusat kuliner.
Terkait bangunan yang ada, tidak akan dibongkar atau diratakan seperti halnya lokalisasi Kalijodo di Jakarta. Hal itu lantaran bangunan yang ada memiliki sertifikat hak milik (HM).
Dewi Ingin Karaoke SK Tetap Buka
Pemkot Semarang akan benar-benar menutup Resosialisasi Argorejo atau Lokalisasi Sunan Kuning (SK) Semarang tanggal 15 Agustus 2019.
Berbagai persiapan dan pelatihan keterampilan telah dilakukan. Namun demikian sebagian PSK mengaku belum siap adanya penutupan.
"Pelacuran tak akan berakhir selama laki-laki hidung belang ada," begitulah ungkapan beberapa PSK di Lokalisasi Sunan Kuning.
Ungkapan tersebut dilontarkan beberapa wanita penghibur saat ditemui Tribun Jateng. Intinya, memberantas pelacuran dengan menutup lokalisasi merupakan hal yang muskil.
Secara formal, penutupan lokasi bisnis esek-esek itu bisa dilakukan, namun secara esensial merupakan hal yang pelik lantaran pelacuran bisa dilakukan di mana saja, tidak hanya di lokalisasi.
Karenanya, praktik prostitusi tak akan punah ketika satu salurannya disumbat.
"Kalau ini ditutup, kami akan turun ke jalan, 'main' di hotel. Di sana malah tidak terkontrol lagi," kata seorang WPS yang dikenal dengan sapaan Mba Ayu (42).
Meskipun demikian, wanita asal Temanggung itu mengatakan tidak semua orang bisa menyewa kamar hotel.
Begitu juga dirinya, tidak bisa bolak-balik dari Temanggung ke Semarang hanya untuk melayani pria hidung belang.
Menurutnya, wanita yang menjajakan dirinya di jalan-jalan atau secara online (daring) justru tidak terkontrol atau liar.
Baca: Anggota DPRD Kolaka Utara Meninggal di Hotel, Benarkah karena Kecapaian?
Berbeda dengan di lokalisasi dimana terdapat struktural pembina atau pengelola yang jelas.
Tugas pembina atau pengelola melakukan koordinasi dengan para 'anak asuh' dan pengusaha di lokalisasi untuk melakukan serangkaian kegiatan, termasuk dari Pemerintah Kota Semarang.
Kegiatan yang dimaksud antara lain pemeriksaan kesehatan penghuni lokalisasi, pelatihan keterampilan, dan sosialisasi terkait bidang lainnya.
Pengawasan juga dilakukan untuk menghindari wanita di bawah umur nekat menyediakan jasa seks di kompleks SK.
Pengelola SK memberlakukan aturan-aturan ketat. Seperti adanya sanksi tidak boleh bekerja semalam dan denda hingga Rp 1 juta jika tidak mengikuti kegiatan.
"Di sini kesehatan terjamin. Aman. Ada screening dan VCT (konseling dan tes HIV). Di luar apakah ada tes kesehatan seperti ini? Tidak ada. Apakah pemerintah akan ke jalan-jalan untuk tes kesehatan? tidak mungkin," ujarnya.
Pekerja di SK di-screening ketat. Kemudian akan diberikan pelatihan dengan harapan bisa segera mentas dari dunia malam.
Ayu menuturkan pemberian pelatihan keterampilan kerja sangat dibutuhkan para wanita penghibur yang selama ini menggantungkan hidupnya di SK.
Ayu mengaku sudah 10 tahun mengadu nasib di SK. Kini dia pun sadar bahwa kemolekan tubuhnya tidak seperti dulu lagi.
Kerutan dan garis-garis di dahinya sudah tampak meski sudah dipoles bedak. Wanita berambut panjang itu tak begitu kelihatan bahwa usianya sudah kepala empat.
"Saya tidak mungkin seperti ini terus (menjadi WPS). Nggak selamanya di sini. Sudah tua kaya gini kurang laku. Saya juga pengin usaha," tuturnya sembari menyunggingkan bibir polesan lipstik warna merah tebal.
Ibu empat anak ini mengatakan telah mendapatkan pelatihan beberapa keterampilan. Ia merasa memiliki bakat di bidang kuliner.
Ayu pun ingin membuka warung makan jika sudah 'lulus' dari Sunan Kuning.
Ia belum merealisasikan keinginannya itu saat ini lantaran modal yang dimiliki belum cukup.
Modal sebesar Rp 5,5 juta yang akan diberikan Kementerian Sosial melalui Pemkot Semarang, kata dia, belum cukup untuk usaha.
Dalam sehari saja, dia bisa mendapatkan pendapatan hingga Rp 1 juta saat ramai pelanggan. Wacana penutupan, kata dia, tidak menyurutkan para pelanggan untuk memakai jasanya.
Tamu yang datang sejak didengungkan wacana penutupan tidak berkurang sama sekali. Ayu sudah memiliki pelanggan setia yang sewaktu-waktu bisa menghubunginya.
"Kerja jadi WPS itu kan dapat uang banyaknya cepet, tapi keluarnya juga cepet, nggak kerasa," ujarnya.
Ayu mengaku uang tersebut ia gunakan untuk kebutuhan hidup dirinya dan anak-anaknya. Bagaimanapun lokalisasi merupakan pasar bertemunya penyedia dan pencari layanan seksual.
Lokalisasi menjadi lahan untuk orang yang mencari 'lapangan kerja' karena mencari pekerjaan selain itu dirasa sulit.
"Saya cuma bisa begini. Jadi pembantu rumah tangga pun gaji tidak seberapa. Punya anak empat, yang satu sudah bekerja. Tapi saya tidak mau menggantungkan hidup dari kerja anak," imbuhnya.
Perempuan single parent itu menuturkan terpaksa menjual tubuhnya hanya untuk membiayai keperluan anak-anaknya.
Oleh karena itu, ia menegaskan belum mampu melepaskan pekerjaannya menjadi pekerja seks. Dia juga berharap pemerintah memiliki kebijakan untuk tidak menutup SK.
"Kami seperti ini hanya untuk keluarga. Lihat yang di jalan-jalan, anak-anak sekolah dibawa sama om-om. Kalau seperti itu, siapa yang bertanggung jawab? Ditutup, selamat datang pelacuran liar," ujarnya.
Tampaknya, wacana penutupan lokalisasi tidak menyurutkan para tamu untuk datang.
Berdasarkan pantauan, tempat parkir dan jalanan depan wisma-wisma dan tempat karaoke di SK pun banyak mobil parkir berjejer.
Sekitar pukul 18.30 WIB kelap-kelip lampu tempat karaoke sudah gemerlap.
Di sejumlah sudut, para WPS dan wanita pemandu lagu atau ladies companion (LC) sudah berjejer di pinggir jalan, tidak bisa dibedakan lagi.
Beberapa tempat karaoke sudah tidak menerima tamu lagi hingga sekitar pukul 23.00 WIB lantaran sudah dipesan (booked).
Seorang wanita pemandu lagu, Dewi (33) menuturkan tidak ada pengaruh kunjungan sejak adanya informasi penutupan SK. Hal itu, kata dia, sejumlah tempat karaoke sudah memiliki pelanggan.
"Tidak ada sih. Sama saja. Masih banyak yang datang," tutur wanita berambut lurus panjang itu.
Setiap harinya ia biasa mendampingi beberapa tamu. Pe rmalamnya, dia bisa mendapatkan upah bersih sebesar Rp 500 ribu.
Ketika ditanya penutupan, dia berharap penutupan hanya diberlakukan untuk wisma atau tempat lokalisasi, tidak untuk tempat karaoke.
"Semoga sih tempat karaokenya tidak (ditutup). Jadi kalau nanti dijadikan pusat kuliner, tetap ada tempat karaokenya," imbuhnya.
Meskipun demikian, ada bidang usaha lain yang merasa dirugikan dengan adanya wacana penutupan lokalisasi.
Seperti diketahui, tidak hanya usaha karaoke dan penginapan yang mencari uang di lokalisasi di Kelurahan Kalibanteng Kulon Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang itu.
Ada bidang usaha lain, semisal jasa cuci pakaian (laundry), warung kelontong, rumah makan, toko baju, salon, dan sebagainya.
Seorang pemilik toko baju kompleks SK, Welly (38) menuturkan kehilangan separuh pelanggannya sejak didengungkan penutupan lokalisasi.
Kebanyakan pelanggannya merupakan 'mba-mba' penghuni lokalisasi yang sudah berdiri sejak 1966 tersebut.
"50 persen pendapatan saya berkurang," ungkapnya.
Sebelumnya, ia bisa mendapatkan penghasilan Rp 1 juta per hari dengan menjual pakaian yang rata-rata seharga Rp 100-130 ribu.
"Dengar akan ditutup, sepertinya beberapa penghuni pindah ke tempat lain. Nggak tahu ke mana," terangnya.
Agar usahanya tetap jalan, ia berharap tidak ada penutupan lokalisasi. Hanya saja sistem dan kontrolnya yang dijalankan lebih ketat.
"Kontrol lebih ketat itu misalnya identitas penghuni terdata dengan jelas, sehingga wanita di bawah umur tidak bisa bekerja. Kemudian regulasi-regulasi demi kepentingan bersama harus dijalankan," ujarnya. (tim)
Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Lokalisasi Sunan Kuning Ditutup, PSK Ancam Mangkal di Jalanan, Ini Tanggapan Pemkot Semarang