Mendikbud: Berkah Sistem Zonasi PPDB Buka Kedok Kepala Daerah Tak Laksanakan Amanah Konstitusi
Muhadjir Effendy mengatakan penerapan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru berhikmah belum meratanya sekolah di masing-masing daerah
Editor: Sugiyarto
TRIBUNJATENG.COM, SOLO - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengatakan penerapan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berhikmah belum meratanya sekolah di masing-masing daerah.
"Sekarang ketahuan banyak pemerintah daerah yang belum memenuhi amanah konstitusi, yaitu pendidikan adalah layanan dasar. Artinya wajib. Dengan zonasi, ketahuan banyak kepala daerah tidak melakukan amanah itu," kata dia saat mengunjungi SMP Negeri 10 Solo, Kamis (1/8/2019).
Muhadjir mengimbau kini para kepala daerah harus memikirkan cara mempercepat pembangunan sekolah baru.
Baca: Sistem Zonasi Belum Bisa Meningkatkan Angka Partisipasi Anak Bersekolah
Pembangunan dikhususkan pada wilayah atau zona yang belum didapati sekolah.
Selain itu, tambahnya, kepala daerah semestinya membuat program relokasi sekolah sesuai sebaran penduduk.
"Seperti Solo ini, sudah melakukan relokasi SMP yang didekatkan dengan pusat konsentrasi populasi siswa," imbuh dia.
Baca: Sistem Zonasi Hanya Cocok di DKI Jakarta
Muhadjir mengatakan tak lama lagi sistem zonasi akan menjadi peraturan presiden (Perpres), bukan hanya peraturan menteri.
"Termasuk di dalamnya nanti mengatur tentang redistribusi dan relokasi guru dalam rangka pemerataan tenaga guru. Dan kita bisa memotret dimana guru guru yang kurang," jelasnya.
Rotasi Guru Hanya antar Zona
Muhadjir memastikan rotasi guru dalam sistem zonasi nantinya hanya dilakukan antar wilayah dalam satu kota, bukan antar provinsi.
"Guru kalau menurut ASN kan empat (tahun) ya (rotasinya). Tapi kalau untuk SD kemungkinan 6 tahun, kenapa? Karena desain kurikulum sd itu seharusnya mengajar dari kelas satu sampai mengantar anak itu sampai kelas enam. Jadi tidak boleh diganti," tuturnya.
"Tapi kalau untuk SMP-SMA itu empat tahun, karena mereka memegang mata pelajaran, bukan kelas layaknya guru SD," lanjur Muhadjir.
Menurutnya, kalau guru SD digantikan itu kurang bagus untuk psikologis anak.
Sehingga harus mengajar sampai tuntas, kelas satu sampai enam.