TERPOPULER Pengakuan Pemerkosa 9 Anak Soal Vonis Kebiri Kimia: Mending Dihukum Mati
Inilah pengakuan Aris, pemerkosa 9 anak di Mojokerto soal vonis kebiri kimia yang dijatuhkan. Ia menolak dan mending dihukum mati.
Editor: Sri Juliati
Inilah pengakuan Aris, pemerkosa 9 anak di Mojokerto soal vonis kebiri kimia yang dijatuhkan. Ia menolak dan mending dihukum mati.
TRIBUNNEWS.COM, MOJOKERTO - "Saya keberatan dengan hukuman suntik kebiri mati."
"Saya menolak karena efek kebiri berlaku sampai seumur hidup."
"Mending saya dihukum dua puluh tahun penjara atau dihukum mati."
"Setimpal dengan perbuatan saya."
Ucapan itu disampaikan terpidana predator pemerkosa sembilan anak, Aris (20), di Lapas Mojokerto, Jawa Timur, Senin siang (26/8/2019), menanggapi putusan Pengadilan Tinggi Surabaya perihal hukuman suntik kebiri kimia untuknya.
Kasus predator anak yang menjerat Aris bermula saat hakim Pengadilan Negeri Mojokerto pada 2 Mei 2019, menjatuhkan vonis 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan serta hukuman tambahan berupa suntik kebiri.
Pemuda asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto yang kesehariannya berprofesi sebagai tukang bengkel las tersebut, divonis terbukti bersalah melakukan pelecehan seksual terhadap sembilan anak berusai 6-7 tahun, laki-laki dan perempuan.
Dia dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
Aris menolak putusan tersebut dan mengajukan banding.
Namun, pada 18 Juli 2019, justru Pengadilan Tinggi Surabaya menolak banding tersebut dan menguatkan putusan PN Mojokerto.
Dia sudah tidak mengupayakan Peninjauan Kembali (PK) terhadap perkaranya.
Aris mengaku menyesal telah melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak di bawah umur.
Namun, dia memilih tambahan hukuman 20 tahun penjara atau dihukum mati dibadingkan disuntik kebiri kimia.
"Tetap saya tolak. Saya tidak mau. Kalau disuruh tanda tangan saya tidak mau tanda tangan," ucapnya.
Humas Pengadilan Tinggi Surabaya Untung mengatakan, hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan kepada terdakwa Muhammad Aris telah sesuai landasan hukum jelas dan undang-undang yang berlaku.
"Itu kebijaksanaan aparaturnya, peraturan pelaksanaannya, bisa dilaksanakan atau tidak."
"Dalam hal ini kalau pengadilan menjatuhkan putusan, kan itu kan landasan hukumnya ada."
"Memang ancaman hukumnya adalah kebiri. Persoalan kebiri nanti dengan acara apa, kan dari eksekutor," kata Untung.
Hal senada disampaikan Humas Pengadilan Negeri Mojokerto, Erhammudin.
Menurutnya, pidana tambahan berupa kebiri kimia kepada terdakwa kasus pelecehan dan kekerasan anak, Muhammad Aris sesuai dengan ketentuan Pasal 81 ayat 5 dan ayat 7 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Ia menceritakan perkara yang menjerat Aris terdaftar di kabupaten dan kota Mojokerto.
“Ada dua perkara atas nama Aris, di Kabupaten terdaftar dalam Nomor 79 Pidsus Tahun 2019, yang kedua Nomor 65 dan 69."
"Perkara putusan ada pidana tambahan kebiri kimia ada di dalam perkara kabupaten,” ujarnya.
Jadi jaksa dalam hal ini, lanjut Erhammudin, mendakwakan untuk perkara di Kabupaten Mojokerto secara subsidiritas primer Pasal 81 76d, Pasal 81 ayat 1 subsider 76e, dan Pasal 81 ayat 1.
Menurutnya, PN Mojokerto sependapat dengan penuntut umum, terdakwa dalam perkara 69 telah melanggar ketentuan pasal 76d.
“Itu menurut majelis hakim sependapat. Mengenai pidana tambahan kebiri kimia tersebut, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2016 dalam ketentuan Pasal 81 ayat 5 dan ayat 7 yang menyatakan, salah satunya lebih dari satu kali, ketentuan maksimal bisa ditambah dalam UU,” katanya.
Hukuman suntik kebiri kimia diberikan kepada Aris karena korban lebih dari satu orang dan para korban masih duduk di bangku sekolah TK atau SD.
“Korban rata-rata usia anak TK. Terdakwa melakukan kejahatan secara acak, keliling kompleks, dan sekolahan ketemu anak kecil langsung dibekap dan pemerkosaan."
"Visum menyebutkan robek dan berdarah, saya anggap itu suatu kejahatan sangat serius dan harus diberikan efek jera kepada terdakwa dan pelajaran kepada masyarakat,” ungkapnya.
Erhammudin menambahkan, vonis pidana tambahan berupa kebiri kimia dinilai sebagai putusan terbaik dari hakim PN Mojokerto.
Hal itu sekaligus untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Klaim Kerasukan Setan
Dari perjalanan persidangan kasus di pengadilan, pelecehan seksual terhadap anak-anak dilakukan Muhammad Aris sejak 2015 lalu.
Ada sembilan anak di bawah umur yang tersebar di wilayah Mojokerto menjadi korbannya.
Modusnya, sepulang kerja menjadi tukang las dia mencari mangsa, kemudian membujuk korbannya dengan iming-iming dan membawanya ke tempatnya sepi untuk melancarkan niat asusilanya.
Aksi bejatnya terbongkar setelah aksinya terekam kamera CCTV satu perumahan di Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto, pada 25 Oktober 2018.
Sehari kemudian dia diringkus polisi.
Saat ditemui di lapas, Aris mengaku kerap melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak di tempat sepi.
Namun, dia melakukan perbuatan itu dengan spontan, bukan direncanakan.
"Saya melakukan perbuatan tersebut secara spontan. Saya bingung, mungkin karena kerasukan setan," imbuhnya.
Ia mengaku hanya melakukan pelecehan seksual sebanyak dua kali.
Perbuatan itu dilakukannya setelah film dewasa atau berkonten pornografi.
Namun, ia tidak langsung mencari anak usai menonton film porno tersebut.
"Yang melaporkan saya di pihak berwajib cuma satu saja. Saya mengaku 11 anak usai ditanya oleh Polresta Mojokerto."
"Saya sebenarnya tidak tertarik dengan anak anak. Susah mengajaknya, ada yang saya bujuk tapi ditolak," ucapnya.
"Saya iming-imingi anak-anak dengan kasih jajan. Saya tidak menganiaya anak-anak atau memaksa saat melakukan perbuatan," imbuhnya.
Aris mengaku penghasilannya sebagai tukang las hanya Rp 280 ribu sepekan.
Penghasilan yang minim dijadikannya alasan untuk tidak melampiaskan nafsunya kepada wanita dewasa.
Diisolasi
Muhammad Aris selaku narapidana kasus predator anak di bawah mendapat pengawasan khusus dari pihak Lapas Klas II B Mojokerto. Hal itu dikarenakan jenis kasus yang dilakukannya.
Pihak lapas menempatkannya di sebuah sel khusus untuk mencegah amukan dari para narapidana lainnnya.
"Kami memisahkan terdakwa dengan narapidana lainnya di sel isolasi dengan pengawasan dari petugas kami."
"Karena terdakwa merupakan kasus khusus. Dikhawatirkan ada warga binaan yang kecewa."
"Sehingga menimbulkan rasa emosional," ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Lapas kelas II B kota Mojokerto, Tendi Kustendi.
Menurut Tendi, Aris tinggal bersama 12 narapidana lainnya di ruang isolasi tersebut dan mendapat pengawasan dari petugas lapas.
Aris akan berada di sel khusus tersebut sampai menunjukkan perubahan perilaku dan tidak membahayakan bagi narapidana di sekitarnya.
"Selama ini, terdakwa ikut ngaji, siraman rohani, juga beribadah, jadi tidak ada indikasi kelainan jiwa" ujarnya.
Kalau perlakuan, kami samakan dengan warga binaan yang lain. Seperti makan, mandi dan ibadah," imbuhnya.
Untuk pengawasan dan psikis, Aris selaku narapidana juga diberikan konseling dan pembinaan dari wali napi.
"Sampai saat ini terdakwa berkelakuan baik di lapas, terdakwa berperilaku diam."
"Mungkin terdakwa memikirkan perbuatannya masa lalu, tapi tetap kami awasi," ujarnya.
Ia mengaku belum menerima surat putusan atas hukuman suntik kebiri dari Kejaksaan Negeri Mojokerto.
"Pada dasarnya lapas hanya memfasilitasi pelaksanaan hukuman kebiri. Kami cuma mengikuti saja," ujarnya.
IDI Tolak jadi Eksekutor Kebiri Kimia
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia terpidana kasus pelecehan seksual anak, karena melanggar kode etik kedokteran dan sumpah dokter.
Dokter yang tergabung dalam IDI juga tak memiliki kompetensi melakukan kebiri.
"Masalah kebiri kami terikat dengan fatwa majelis kehormatan etik Indonesia memang kode etik kedokteran Indonesia tidak memungkinkan kita melakukan atau memberikan eksekusi itu."
"Beresiko sekali," kata Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Pengurus Besar IDI, Dr dr Pujo Hartono, di RSUD Dr Soetomo, Surabaya, Jawa Timur, Senin (26/8).
Hal ini disampaikan menyusul adanya putusan Pengadilan Tinggi Surabaya terhadap terpidana kasus pelecehan seksual sembilan anak di Mojokerto, Muhammad Aris (20), yang dihukum 12 tahun penjara dan hukuman tambahan suntik kebiri kimia.
Putusan itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mojokerto sebelumnya.
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya itu berkekuatan hukum tetap atau inkraht karena Aris selaku terpidana tidak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dalam rentang 14 hari pasca-putusan.
Pujo menjelaskan, selama ini, peran dokter saat jaksa melaksanakan atau eksekusi hukuman mati terhadap terpidana sebatas memastikan meninggal atau belum.
Dan belum ada kompetensi untuk menjadi eksekutor hukuman suntik kebiri kimia.
"Ini memang sangat berisiko untuk profesi," kata dia.
Pujo menegaskan mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan hukuman seberatnya kepada pelaku kekerasan seksual kepada anak.
Namun, pihaknya menolak dilibatkan sebagai eksekutor hukuman tersebut.
"Pelakunya harus dihukum seberatnya karena dampak dan trauma kepada korban. Kami yakini itu, kami menyarankan hukum seberatnya," tutup dia.
Menanggapi hal tersebut, Staf Khusus Menteri Kesehatan, Prof dr Akmal Taher, SpU(K) mengatakan akan mencari jalan keluar bersama-sama dengan IDI apabila hal tersebut bertentangan dengan kode etik keprofesian atau melanggar sumpah jabatan kedokteran.
Namun, atas perintah pengadilan sebagaimana putusan, maka putusan itu harus dilaksanakan.
"Kalau memang seperti itu nanti kita akan duduk sama-sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga untuk mencari jalan keluarnya bagaimana supaya itu bisa dijalankan," ujar Akmal.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (Jatim) masih mengkoordinasikan petunjuk teknis (juknis) perihal eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus pencabulan Muhammad Aris, menyusul putusan banding dari Pengadilan Tinggi Surabaya yang telah inkrah.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Richard Marpaung mengatakan, putusan Pengadilan Tinggi Surabaya perihal hukuman tambahan kebiri kimia yang menguatkan vonis Pengadilan Negeri Mojokerto harus dilaksanakan.
Hal itu telah sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Putusan dan eksekusi putusan tersebut akan menjadi kali pertama dilaksanakan di Indonesia.
Namun, belum ada petunjuk teknis pelaksanaan hukuman tersebut.
Oleh karena itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung terlebih dahulu.
"Sehingga untuk mengeksekusinya kami perlu berkoordinasi lebih dulu dengan pimpinan di Kejaksaan Agung," ujarnya.
Menurut Richard, Kejari Mojokerto telah meminta sejumlah rumah sakit di wilayah kabupaten setempat untuk melaksanakan hukuman suntik kebiri kimia untuk terpidana Muhammad Aris ini.
Namun, tak satupun yang bersedia melaksanakannya dengan alasan belum tersedia fasilitasnya. (tribun network/tribun jatim/coz)