TERKINI Papua Pasca-Rusuh: Wiranto Sebut Toko-toko Mulai Buka, Blokir Internet Belum Dicabut
Pemerintah mengatakan situasi di Papua saat ini sudah mulai kondusif pascadilanda kerusuhan. Meski demikian, pemblokiran internet masih belum dicabut
Penulis: Daryono
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah mengatakan situasi di Papua saat ini sudah mulai kondusif pascadilanda kerusuhan.
Meski demikian, pemblokiran internet masih belum dicabut.
Pemerintah menjanjikan mencabut pemblokiran internet di Papua dengan sejumlah syarat.
Sementara, koalisi masyarakat sipil meminta penangkapan mahasiswa Papua oleh aparat keamanan dihentikan.
Baca: Bambang Soesatyo Dorong Pemuda Papua Pulihkan Semangat Membangun
Berikut berita terkini Papua yang dihimpun Tribunnews.com, Senin (2/9/2019):
1. Wiranto Sebut Kondisi Papua Kondusif
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto menyatakan kondisi di Papua mulai kondusif.
Berdasarkan laporan yang diterima Wiranto, pertokoan yang semula tutup kini mulai buka.
“Hari ini kita sangat bersyukur, kita mendengar saudara-saudara kita di Papua dan Papua Barat sana sudah damai, sudah tenang, kehidupan mulai berjalan lagi, toko-toko sudah mulai buka,” kata Wiranto dalam acara Yospan Papua di car free day di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu (1/9/2019) sebagaimana dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet, setkab.go.id.
Wiranto menyampaian ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang ikut meredakan kerusuhan di Papua.
“Kita bersyukur atas inisiatif Pak Freddy Numberi dan kawan-kawan, Pak Kapolda, Pangdam. Kita semua mencoba menyiarkan, mengabarkan kepada semua masyarakat di seluruh Indonesia bahwa kita semua bersaudara, kita menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya,” ucap Wiranto
2. Soal Pemblokiran Internet
Terkait pemblokiran internet yang masih diberlakukan di Papua, Wiranto mengatakan bakal membuka akses internet setelah kondisi benar-benar kondusif.
Hanya saja, Wiranto tidak menjelaskan secara pasti kapan blokir internet di Papua bakal dicabut.
“Pasti dibuka (internet). Kalau sudah damai untuk apa kita blokir medsos, untuk apa aparat keamanan ribut-ribut atau ramai ke sana. Tapi tunggu dulu (waktunya) karena ini baru mulai tenang,” kata Wiranto.
3. Koalisi Masyarakat Sipil Minta Penangkapan Mahasiswa Papua Dihentikan
Elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi meminta aparat keamanan menghentikan penangkapan sewenang-wenang mahasiswa asal Papua terkait pengibaran bendera bintang kejora.
Kepala Advokasi LBH Jakarta, Nelson N Simamora, mengkhawatirkan upaya berlebihan yang dilakukan aparat kepolisian dapat memperburuk masalah di Papua.
"Kami meminta (aparat keamanan,-red) menghentikan penyisiran atau sweeping atau hal-hal sejenis ini kepada asrama-asrama mahasiswa Papua," kata Nelson, saat dihubungi, Minggu (1/9/2019).
Dia meminta agar penyelesaian insiden pengibaran bendera bintang kejora di depan Istana Negara, Jakarta Pusat pada beberapa waktu lalu diselesaikan melalui dialog.
"Mengambil inisiatif dialog yang berkelanjutan sebagai upaya menyelesaikan konflik di Papua secara damai," tambahnya.
Baca: Ribuan Akun Media Sosial Sebar Hoaks soal Papua, Mayoritas Berasal dari Luar Negeri
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi mencatat sebanyak delapan orang diamankan terkait pengibaran bendera bintang kejora saat aksi unjuk rasa di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, pada Rabu (28/8/2019).
Upaya penangkapan yang dilakukan aparat keamanan itu diungkap oleh Nelson N Simamora, Kepala Advokasi LBH Jakarta.
"Sejauh ini sudah ada delapan orang ditangkap dan ditahan. Mereka yaitu, Carles Kossay, Dano Tabuni, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Naliana Wasiangge, Wenebita Wasiangge, Norince Kogoya, dan Surya Anta," kata dia, saat dihubungi, Minggu (1/9/2019).
Dia menjelaskan, penangkapan pertama terjadi pada 30 Agustus 2019 di sebuah asrama di Depok.
Dua orang mahasiswa asal Papua diamankan.
Menurut Nelson, penangkapan ini dilakukan dengan mendobrak pintu dan menodongkan pistol.
Setelah itu, kata dia, penangkapan kedua dilakukan pada saat aksi solidaritas untuk Papua di depan Polda Metro Jaya, Sabtu (31/8/2019) sore.
Lalu, penangkapan ketiga dilakukan oleh aparat gabungan (TNI dan Polri) terhadap tiga orang perempuan, di kontrakan mahasiswa asal Kabupaten Nduga di Jakarta, pada 31 Agustus 2019.
"Penangkapan dilakukan tanpa surat izin penangkapan dari polisi. Aparat gabungan juga mengancam tidak boleh ambil video atau gambar, sementara mereka boleh mengambil gambar ataupun video," kata Nelson.
Baca: Polisi: Ada Dugaan Keterlibatan Asing dalam Aksi Rusuh di Papua
Pada saat ini semua yang ditangkap telah dipindahkan ke Mako Brimob di Kelapa Dua.
4. Kapolri dan Panglima TNI akan Berkantor di Papua Selama Seminggu
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian memastikan akan menambah pasukan yang diterjunkan ke Papua.
Saat ini, sudah ada 6.000 personel gabungan TNI-Polri di Tanah Papua.
"Kalau kurang akan saya tambah lagi, saya dengan pak Panglima (Marsekal Hadi Tjahjanto, - Red) sudah komitmen. (Kalau) kurang, akan tambah lagi sampai situasi aman," ujar Tito, pasca HUT Polwan ke-71, di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Minggu (1/9/2019) kemarin.
Selain itu, Tito juga menegaskan akan berangkat ke Papua langsung untuk memastikan keamanan di lokasi.
Tak sendiri, ia akan didampingi oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Menurut mantan Kapolda Papua dan Metro Jaya itu, dirinya akan berada disana seminggu lamanya atau hingga situasi benar-benar aman.
"Kita akan berangkat ke sana untuk jaga keamanan. Saya akan paling tidak, mungkin 4-5 hari atau seminggu akan ada di situ (Papua) sampai situasi benar-benar aman," ucapnya.
Jenderal bintang empat itu pun kembali menegaskan jika situasi panas tak kunjung reda, pihaknya siap menambah pasukan untuk mengamankan dan melakukan penegakan hukum.
"Kalau tidak (aman) atau kurang, saya akan menambahkan pasukan dan kalau ada yang melakukan kerusuhan kita akan tegakkan hukum pada mereka," Kapolri menegaskan.
5. Jokowi Disarankan Lepaskan Demonstran Pro-Papua Merdeka
Ketua Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH menyarankan Presiden Joko Widodo menggunakan kewenangannya melalui Jaksa Agung HM Prasetyo untuk melepaskan sejumlah demonstran pro-Papua merdeka yang ditetapkan polisi sebagai tersangka.
“Melalui Jaksa Agung, Presiden Jokowi bisa menggunakan kewenangannya untuk membebaskan para tersangka dengan seponering atau deponering,” ucapnya di Jakarta, Senin (2/9/219).
Presiden Jokowi, tegas Murphi, bisa menginstruksikan kepada Jaksa Agung HM Prasetyo untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum atau dikenal dengan istilah seponering atau deponering untuk membebaskan para demonstran pro-Papua merdeka.
Kewenangan itu diatur dalam Pasal 35 huruf c Undang-Undang (UU) No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
“Deponering bisa digunakan untuk membebaskan orang-orang Papua yang ditahan di Polda Metro Jaya maupun Polda Papua,” jelas Murphi yang baru saja mendapat gelar doktor honoris kausa dari sebuah universitas di Kamboja.
Baca: Indiarto Ledek Sandiaga Uno Akting saat Telepon Wagub Papua Barat, Sandi: Ya Enggak Gitu-gitu Amat
Ia lalu mengutip bunyi Pasal 35 huruf c UU No 16/2004, yakni, “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.”
Kepentingan umum dimaksud, jelas Murphi, ialah situasi aman, damai, sejuk dan kondusif di Papua dan Papua Barat setelah sempat terjadi gejolak akibat aksi demonstrasi yang berujung rusuh beberapa waktu lalu.
“Bahwa keamanan dan kedamaian di Bumi Cendrawasih merupakan kepentingan umum bagi seluruh bangsa ini, terutama rakyat Papua dan Papua Barat,” paparnya.
Bila proses hukum terhadap para demonstran yang menjadi tarsangka diteruskan, Murphi khawatir situasi di Papua dan Papua Barat akan terus bergejolak, dan rakyat Papua pun akan terus melawan karena sejumlah mahasiswa dan rakyat Papua ditahan.
“Deponering itu bukan berarti kita tidak mematuhi hukum. Kita tetap menjunjung tinggi supremasi hukum, hanya saja Jaksa Agung memang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk membebaskan tahanan dengan alasan demi kepentingan umum,” terangnya.
Penggunaan deponering, masih kata Murphi, juga bukan berarti Kejaksaan Agung diskriminatif atau mengingkari prinsip equality before the law (kesetaraan di muka hukum), tapi ada kepentingan yang lebih luas lagi yang menyangkut masa depan bangsa ini, daripada tetap menjadikan mahasiswa dan orang-orang Papua sebagai tersangka dan menahannya.
Setelah itu, imbuh Murphi, Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP).
“Berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ada tiga syarat penerbitan SKPP, yaitu kurang cukup bukti, perbuatan yang disangkakan bukan tindak pidana, dan demi kepentingan hukum,” cetusnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan, delapan orang Papua yang ditangkap terkait pengibaran bendera Bintamg Kejora telah ditetapkan sebagai tersangka.
Salah satu tersangka adalah juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua), Surya Anta Ginting.
Para tersangka diduga mengibarkan bendera Bintang Kejora pada aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Polda Papua juga menetapkan 30 orang sebagai tersangka terkait unjuk rasa yang berujung kerusuhan di Jayapura, Kamis (29/8/2019). Sebagian dari para pengunjuk rasa itu adalah mahasiswa.
(Tribunnews.com/Daryono/Glery Lazuardi/Vincentius Jyestha)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.