Tradisi Sekaten sebagai Sarana Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Solo dan Yogyakarta
Di Solo dan Yogyakarta, masyarakat memperingati Maulid Nabi dengan mengadakan acara Sekaten.
Penulis: Oktaviani Wahyu Widayanti
Editor: Pravitri Retno W
Dikutip dari Wikipedia, memperbanyak sedekah ini juga diajarkan oleh Wali Songo, yaitu pembawa Islam di pulau Jawa.
Para Wali Songo mengajarkan amalan sedekah melalui tradisi budaya Jawa, seperti sekaten
Tradisi sekaten biasanya diadakan di Kota Solo dan Yogyakarta.
Tradisi sekaten ini terdiri dari dua bagian acara, yaitu 'grebeg maulidan' dan 'numplak wajik'.
Grebeg maulid merupakan acara puncak Sekaten, yaitu membawa sedekah bumi atau gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuran yang kemudian dibawa dari istana menuju masjid Agung.
Sementara numplak wajik adalah lagu-lagu yang dimainkan menggunakan gamelan yang mengiringi ketika gunungan dibawa menuju masjid Agung.
Mengutip Tribunnews, awalnya perayaan sekaten diadakan sebagai upaya menyiarkan agama Islam yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, yaitu zaman Kesultanan Demak.
Masyarakat Kota Solo dan orang-orang Jawa lainnya saat itu menyukai seni gamelan.
Ketika hari raya Islam, yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad, di halaman Masjid Agung Demak orang-orang senang memainkan gamelan.
Hal itu dapat menarik masyarakat berdatangan ke halaman masjid untuk mendengarkan gamelan.
Saat itulah khutbah-khutbah mengenai keIslaman juga disiarkan pada hari Maulid Nabi.
Para Wali sepakat untuk mengemas dakwahnya dengan menggunakan gamelan pusaka peninggalan dinasti Majapahit yang telah dibawa ke Demak.
Terwujudnya sekaen adalah karena kejelian, kecerdasan, dan kedekatan para Wali pada masyarakatnya.
Menurut KRT Haji Handipaningrat dalam buku 'Perayaan Sekaten', kata Sekaten berakar dari kata dalam Bahasa Arab, Syahadatain yang memiliki makna persaksian (syahadat).