Zona Emosi Buat Anak Nyaman di Sekolah
Kegiatan mengenal emosi lewat zona emosi ini sepertinya tampak sederhana, namun ternyata dapat menciptakan ekosistem lingkungan positif di sekolah
Editor: Eko Sutriyanto
GSM diprakarsai oleh Muhammad Nur Rizal dan sang istri, Novi Poespita Candra pada September 2013.
Kala itu GSM sebagai gerakan akar rumput tengah gencar-gencarnya menyebarkan semangat perubahan untuk membuat sekolah lebih menyenangkan.
Platform GSM terbukti mampu meningkatkan kualitas guru serta ekosistem pendidikan di sekolah-sekolah pinggiran.
Nuri bersama sekolahnya resmi bergabung dengan GSM di 2017.
Baca: Ratusan Pelajar dari 30 Kota Ikuti Kemah Pancasila di Watu Tapak Camp Hill
Baca: Begini Kronologi Bus TransJogja Tabrak Pelajar hingga Tewas, Sopir Bus Jadi Tersangka dan di PHK
Berbagi informasi dilaksanakan dengan menggunakan media sosial antar guru.
Kemudian dilanjutkan dengan melakukan workshop sekolah model GSM.
Sejak saat itu, segenap guru SD Muhammadiyah Mantaran yang semula kesulitan menyusun framework perubahan, kini justru mengalami perubahan mindset tentang pendidikan.
Perubahan dimulai dengan menciptakan ekosistem positif di lingkungan sekolah.
Tak hanya pengajar, para guru juga mengajak keterlibatan orang tua dan siswa dalam proses transformasi. Pada saat kolaborasi terjadi maka kepentingan semua pihak akan terakomodasi.
Secara teknis, metode pembelajaran yang diterapkan oleh GSM mengutamakan karakter dan empati.
GSM menerapkan zona emosi setiap pagi sebelum pelajaran dimulai.
Para siswa diminta mengekspresikan emosinya sehingga teman-teman sekelasnya bisa ikut merasakan apa yang sedang dialami.
Zona emosi memfasilitasi anak untuk mengenal emosinya sendiri.
Anak-anak didorong untuk mengidentifikasi apa yang dia rasakan; apakah itu marah, sedih, senang, kecewa, semua emosi dasar manusia tersebut diekspresikan lewat emoji yang dibuat sesuai kreativitas masing-masing kelas.
Baca: Rumah Warga di Sleman Diteror Bom Molotov
Baca: Desa Selomartani Jadi Pintu Masuk Jalan Tol Solo-Jogja