Kisah Djiko, Pendonor Darah 209 Kali Tapi Masih Trauma Jarum Suntik
Kendati sudah ratusan kali mendonorkan darah, ternyata Djiko masih memiliki rasa takut terhadap jarum suntik.
Editor: Sugiyarto
Rutinitas berdonor Djiko terus berlangsung, bahkan ketika menempuh pendidikan di Migas Cepu.
Kala itu di Cepu belum ada gedung PMI, sehingga jika ingin donor maka harus ke Kota Semarang.
"Waktu itu bisa donor darah waktu liburan saja karena harus menyempatkan waktu untuk perjalanan jauh dengan naik bus atau kereta," bebernya.
Tepat pada tahun 1977, Djiko pertama kali mendonorkan darah di Semarang, tercatat per 19 Februari 2020 sudah 209 kali donor darah, itupun belum di hitung saat donor di Madiun.
Kurangnya manajemen atau kurangnya perkembangan teknologi sehingga tidak bisa terlacak.
"Sekarang bisa rutin hingga mengikuti donor darah apherhesis yang dapat diambil darahnya dua minggu sekali," jelasnya.
Menurut Djiko, alasannya untuk terus berdonor lantaran donor dapat menyehatkan tubuh. Dia merasakan selepas berdonor tubuhnya merasa lebih sehat.
Tidak heran, pria yang hampir berusia kepala enam ini masih tampak sehat, bugar dan prima.
"Darah yang sudah lama di tubuh itu kotor, jadi nanti memproduksi lagi yang namanya darah baru, itulah yang membuat badan menjadi terasa enak,” jelasnya.
Selain itu, kata Djiko, melalui donor juga menyatukannya dengan sesama manusia.
"Saya tidak tahu darah saya diambil oleh orang Kristen, Islam, Budha, Hindu, atau yang lainnya."
"Jadi melalui donor darah saya sudah menjunjung nilai kemanusiaan yang tidak membedakan satu sama lain," ungkapnya.
Semangat berdonor terus digaungkan oleh Djiko, tidak hanya pada diri sendiri melainkan juga lingkungan sekitar.
Ini ditunjukan Djiko yang selalu berkoordinasi dengan perusahaan tempatnya bekerja untuk mengadakan donor darah.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.