Bupati Wonogiri Tak akan Tolak Kedatangan Pemudik: Mereka Manusia Bukan Kerbau
Bupati Wonogiri tak akan tolak pemudik dari perantauan: mereka manusia bukan kerbau.
Editor: Miftah
TRIBUNNEWS.COM -Beberapa pemerintah daerah menyikapi penolakan hingga penghalauan perantau yang nekat mudik di tengah pandemi Covid-19.
Namun di Wonogiri,perantau yang mudik tetap diterima dengan syarat mengikuti persyaratan protokol kesehatan.
Bupati Wonogiri Joko Sutopo mengaku tak akan menolak dan menghalau para perantau dari zona merah yang nekat mudik ke Wonogiri.
Pasalnya, rata-rata warga yang nekat mudik ke kampung halaman lantaran di tanah perantauan tidak memiliki pekerjaan lagi.
“Kami tidak akan mungkin menolak dan menghalau pemudik. Kalau kami tolak dan halau mereka mau dikemanakan. Mereka itu bukan kerbau. Yang di dalam bus itu bukan kerbau tetapi manusia,” ujar
Joko Sutopo yang akrab disapa Jekek kepada Kompas.com, Senin (27/4/2020) sore.
Bagi Jekek, penerapan kebijakan penolakan warga yang mudik tidaklah tepat.
Untuk itu, bila ditemukan pemudik terindikasi sebagai pembawa Covid-19 maka pemerintah harus hadir dengan menangani sesuai protokol kesehatan bukan dilakukan penolakan.
“Apakah mereka (pemudik) itu bukan sesuatu yang berharga dan harus dilindungi,” kata Jekek.
Menurut Jekek, pemerintah harus memiliki peran lebih dalam menangani perantau yang nekat mudik.
Baca: Di Tengah Corona, 3 Perawat RSUD Bung Karno Solo Diusir dari Indekos, Pihak RS Jemput Pakai Ambulans
Baca: Pantai di Gunungkidul Ditutup Selama Pandemi Corona, Wisatawan Tetap Nekat Liburan
Tetapi tidak menggunakan cara penolakan dan penghalauan perantau saat tiba diperbatasan dareah.
“Kalau pemudik yang sampai Wonogiri berarti ada yang tidak optimal. Faktanya ada bus yang bisa masuk bawa penumpang.” kata Jekek.
Jekek mempertanyakan keseriusan pemerintah daerah yang menerapkan PSBB sehingga para perantau tetap masih bisa mudik ke Wonogiri.
Kondisi itu menunjukkan di daerah yang menerapkan PSBB terdapat kebocoran-kebocoran sehingga warga bisa tetap mudik.
“Bisa jadi PSBB tidak efektif pelaksanaannya,” kata Jekek.
Bagi Jekek penerapan kebijakan penghalauan atau membalikkan pemudik ke daerah asal merantau bukan penyelesaian yang tepat.
Apalagi, saat dihalau kondisi para pemudik rata-rata kehilangan pekerjaan di daerah zona merah.
“Pertama mereka banyak yang tidak memiliki pekerjaan lagi di daerah perantauan. Selain itu mereka juga dalam status ketidakpastian di zona merah. Dan kalau terjadi apa-apa siapa yang bertanggung jawab,” ucap Jekek.
Bila pemudik dianggap sebagai pembawa Covid-19 semestinya mereka dikarantina di rumah sakit hingga 14 hari.
Dengan demikian pemutusan mata rantai Covid-19 dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.
Bagi warga yang nekat mudik ke Wonogiri, Jekek memiliki cara tersendiri untuk pengawasannya.
Setiap pemudik dari zona merah wajib mengikuti pengecekan suhu badan dan pemeriksaan klinis.
“Kalau mengalami gejala klinis Covid-19 ya langsung kami bawa ke rumah sakit,” ungkap Jekek.
Jekek menambahkan siapapun yang mudik ke Wonogiri akan tetap diterima.
Bila mengalami gangguan kesehatan pemudik akan dirawat dengan dibiayai anggaran dari Pemkab Wonogiri.
“Secara medis bisa ditangani. Bahkan tingkat kesembuhannya bisa 94 persen. Lalu kenapa semuanya menjadi paranoid,” jelas Jekek.
Tentang perantau yang mudik ke Wonogiri, Jekek menjelaskan, dalam sepekan terakhir mengalami penurunan.
Kendati demikian, timnya tetap bersigap di terminal untuk pengecekan kesehatan para pemudik yang datang dari zona merah.
(Kontributor Kompas.com Solo, Muhlis Al Alawi)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tak Akan Tolak Pemudik, Bupati Wonogiri: Mereka Manusia Bukan Kerbau"