Kisah Hijrah Para Petani Boyolali : Dari Bahan Kimia Beralih ke Organik
Para petani Boyolali berpindah menuju sistem yang lebih hijau dan alami atau disebut dengan organik.
Editor: Aji Bramastra
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Muhammad Irfan Al-Amin
TRIBUNSOLO.COM, BOYOLALI - Pencemaran lingkungan akibat polusi udara ternyata tidak hanya berimbas pada lingkup masyarakat perkotaan saja.
Namun juga pada masyarakat pedesaan yang mata pencahariannya adalah petani.
Baca: Mengenal Aquagriculture, Pertanian Modern Berbasis Aquaculture
Baca: Pertanian Penyelamat RI dari Ancaman Resesi Ekonomi
Salah satunya adalah para petani di Dukuh Jayan, Desa Gedangan, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali.
Daerah ini letaknya 12 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Boyolali.
Jarak yang jauh dari keramaian pusat kota dan wilayahnya yang berada di ketinggian, dengan kisaran 1500 meter di atas permukaan laut.
Hal itu tidak membuat wilayah Dukuh Jayan bebas dari ancaman pencemaran lingkungan.
Ketua Kelompok Tani Utomo Jayan, Widodo, menyadari hal tersebut.
Ia meyakini, kesuburan tanahnya serta tanah milik warga sekitarnya telah mengalami penurunan.
Hingga akhirnya di tahun 2008, muncullah kesadaran untuk hijrah dari sistem pertanian lama yang masih mengandalkan bahan kimia dalam penyemprotan hama dan pemupukan.
Mereka berpindah menuju sistem yang lebih hijau dan alami atau disebut dengan organik.
Widodo tidak sendirian, dia mengajak kawannya sesama para petani, baik sayuran maupun hortikultura.
Dari ajakan tersebut maka timbullah kesadaran kolektif untuk membangun sistem pertanian organik.
Oleh karenanya Widodo mengajak seluruh rekannya untuk membangun sebuah komitmen, yaitu bergotong royong dalam bertani organik ini.
Perlahan namun pasti gerakan para petani di Dukuh Jayan tersebut mulai terlihat,.
Diawali dengan berdirinya Kelompok Tani Utomo Jayan, yang diikuti oleh 28 orang peserta.
"Alhamdulillah sejak awal kami berdiri hingga saat ini, kami selalu konsisten dan tetap terus mengawal kegiatan pertanian organik ini," kata Widodo.
Walaupun dari sekian petani Kelompok Tani Utomo Jayan belum berpengalaman dalam bidang organik.
Widodo tidak patah semangat, dirinya mengundang segenap staf dinas dari kabupaten hingga provinsi.
Mereka meminta agar diajari sistem pertanian bersih dari bahan kimia.
"Dari staf penyuluhan kabupaten hingga provinsi kami diajari, hingga diskusi, dan kami jadi terbuka untuk harus melakukan apa saja kedepannya" jelas Widodo.
Erupsi Gunung Merapi : Ujian Pertama Para Petani
Baru saja memulai beberapa langkah, para petani langsung dihadapkan sebuah ujian, yaitu erupsi Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010.
Debu vulkanik yang berhamburan dari kepundan Gunung Merapi menghancurkan seluruh lahan para petani.
Padahal mereka masih mengawali penanaman melalui metode organik.
Selain menghancurkan lahan serta tanaman, para petani juga diharuskan mengungsi.
Mengingat jarak desa mereka dengan Gunung Merapi hanya tujuh kilometer.
Padahal selama dua tahun masa percobaan tersebut, para anggota Kelompok Tani Utomo masih belum menunjukkan peningkatan pada hasil panen.
Sebagai ketua kelompok, Widodo memberikan semangat dan motivasi kepada segenap rekannya.
Bahwasanya semua itu hanyalah ujian dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
"Setelah semua keadaan mulai normal dan aktivitas bisa dijalankan , kami mulai berbenah dan mencoba bangun lagi," tutur Widodo.
Abu vulkanik tidak hanya sekadar menutupi lahan dan tanaman.
Bahkan hampir menimbunnya karena angka ketebalan abu mencapai sepuluh sentimeter.
"Saya mengajak semua anggota untuk kerja bakti, membersihkan setiap lahan dari timbunan abu, karena berat juga dikerjakan sendirian."
Perlahan namun pasti hasil pertanian yang telah mereka cita-citakan sejak tahun 2008 mulai menampakkan hasil.
Buah-buah organik yang bebas dari bahan kimia telah memasuki keranjang kemasan dan siap untuk dipasarkan.
Lalu timbullah permasalahan selanjutnya yaitu strategi pemasaran.
Apakah kelompok tani ini ingin produk mereka dipasarkan bersamaan produk sayur dan buah-buahan yang mengandung bahan kimia?
Karena apabila dibandingkan antara porduk organik dan non-organik berbeda cukup jauh.
Di sinilah para petani diuji dalam bidang pemasaran.
Sertifikasi : Proses Meraih Kepercayaan Pasar Konsumen Organik
Guna menjangkau pemasaran dan meraih kepercayaan masyarakat.
Hal pertama yang dilakukan oleh kelompok ini adalah mendaftarkan organisasi tani ini ke lembaga sertifikasi organik, LESOS (Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman) yang berdomisili di Mojokerto, Jawa Timur.
Kegiatan sertifikasi ini bertujuan agar hasil produk pertanian dari Kelompok Tani Utomo Jayan berhak menyandang predikat buah ataupun sayur organik.
Tentu proses ini tidak mudah selain waktu yang dibutuhkan cukup lama.
Aneka ragam masalah pada setiap petani menjadikan proses penilaian ini menjadi semakin rumit.
Setiap tanah dan tumbuhan yang ditanam harus terjamin bebas dari bahan kimia.
Maka dibutuhkan waktu hingga 2012, guna meyakinkan pihak LESOS untuk memberikan predikat organik.
Menurut Purnomo, selaku Direktur LESOS, bahwasanya Kelompok Tani Utama Jayan berhasil melewati setiap proses penilaian dengan baik.
Kelompok ini diunggulkan dengan sumber daya manusia yang sudah terlatih sebelumnya dan sumber daya alam yang mendukung.
"Kelompok ini berhasil menjadi salah satu pengembang produk organik dan berhasil meraih pasar di Indonesia," jelas Purnomo.
Untuk meraih sertifikat organik ini, tentu menguras kocek yang cukup dalam.
Beruntung, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah mengucurkan sejumlah bantuan guna proses sertifikasi ini.
Purnomo juga menambahkan setelah mendapat sertifikat organik, para petani harus tetap konsisten menggunakan bahan alami.
Karena sewaktu-waktu akan selalu ada kunjungan hingga inspeksi mendadak, dari pihak LESOS.
"Seperti label halal dari MUI, kami juga berusaha menjaga kepercayaan masyarakat pada label sertifikat organik milik kami," terang Purnomo.
Setelah menyandang predikat sebagai "petani organik", Kelompok Tani Utomo Jayan mengalami peningkatan dalam segi pemasaran.
Konsumen yang datang bukan lagi dari wilayah Boyolali dan Solo Raya justru dari perkotaan besar seperti Semarang, Yogyakarta dan Jakarta.
Bagi Widodo hal ini menjadi sebuah berkah atas hasil usaha yang dia dan teman-temannya dapatkan.
Setelah mengalami berbagai uji coba dan sempat gagal sebelumnya.
"Saya yakin pertanian organik apabila dijalankan secara baik dan konsisten maka pasarnya akan bergerak mendekati ke petani yang menjalankan sistem tersebut."
Tidak berhenti pada pasar nasional, Kelompok Tani Utomo Jayan kemudian mendapat perhatian dari pasar internasional.
Serikat Petani Fairtrade Asia Pacific berminat pada komoditi bawang merah organik hasil tanaman Kelompok Tani Utomo Jayan.
Selanjutnya bawang merah itu akan diolah menjadi bahan bumbu siap masak guna kebutuhan pasar di Eropa.
Guna menembus pasar komoditi Eropa, tidak serta merta bisa langsung dikirim.
Produk organik yang ditawarkan harus kembali diuji kelayakan oleh lembaga sertifikasi organik asal Belanda, Control Union.
Control Union memberikan penilaian lebih ketat daripada LESOS yang menerapkan standar nasional Indonesia.
Ketatnya prosedur dalam mendapat izin dari Control Union, Kelompok Utama Tani Jayan hanya menyiapkan satu blok tanah seluas dua hektar.
Karena banyak lahan milik kelompok yang dianggap tidak layak dengan berbagai faktor.
Salah satunya adalah kandungan bahan kimia yang tersisa, walaupun itu sangat kecil, tetaplah berpengaruh pada penilaian kualitas.
Setelah diinspeksi oleh Control Union pada tahun 2018, akhirnya bawang merah hasil panen Kelompok Tani Utomo Jayan bisa dikirimkan.
Bawang merah yang dikirim mencapai 15 ton, sebuah jumlah cukup besar bagi kelompok tani desa yang masih merintis pasar ekspor.
Ternyata, kegiatan ekspor ini tidak berjalan mulus, hingga tiba pandemic Covid-19, dan memaksa pasar ekspor untuk berhenti.
Bagi Agung hal itu bukan menjadi penghalang baginya untuk tetap mencari peluang ekspor, sembari menanti pandemi ini berakhir.
Menurut Agung Hendrawan, selaku perwakilan Serikat Petani Fairtrade Asia Pacific di Indonesia, Kelompok Tani Utomo Jayan sejatinya memiliki banyak keunggulan.
Terutama di bidang SDM yang sudah pernah melakukan sertifikasi LESOS, sehingga berpengalaman dalam menjaga kualitas produk sayuran organik.
Selain kelebihan terdapat kekurangan yaitu lokasi ladang kelompok organik ini yang terkontaminasi bahan timbal akibat asap polusi.
Hal itu menjadikan produk tani Kelompok Utomo Tani Jayan sulit meraih kategori terbaik untuk diekspor.
Kesulitan tersebut berhasil dilewati setelah beragam evaluasi serta koreksi yang diberikan oleh para asesor dijalankan dengan sangat baik.
"Melalui standar Control Union yang tinggi ini, seharusnya pasar penjualan produk semakin melesat dengan harga jual yang lebih baik," jelas Agung.
Petani Berdikari Boyolali
Ketika TribunSolo berkunjung ke lokasi pertanian milik Kelompok Tani Utama Jayan, Widodo menunjukkan luasnya ladang yang mencapai 15 hektar.
Sejak sistem organik ini diterapkan, setiap tanaman yang tumbuh akan dipasarkan secara mandiri.
Sistem ini berhasil memutus mata rantai pasar karena tidak ada transaksi dengan tengkulak atau pengepul.
“Kami memutus mata rantai pasar, sehingga kami dapat mengendalikan harga dengan lebih baik,” jelas Widodo.
Widodo juga memberitahukan sejak kesadaran bertani digaungkan, tingkat ekonomi masyarakat mulai meningkat.
Keuntungan individu juga mulai terasa, bahkan di desa ini tidak ditemukan lintah darat atau pun koperasi yang memberikan bunga tinggi bagi petani.
Pemerintah Jawa Tengah juga memberikan kemudahan dalam pinjaman bagi petani.
Terutama bagi petani yang fokus terhadap sistem organik ini, mengingat modal yang dikeluarkan tidak sedikit.
Modal tinggi itu juga berimbas pada tingginya keuntungan dibandingkan saat masih menggunakan obat dan cairan kimia dalam bertani.
Kinerja kelompok tani ini dalam menggunakan sistem organik juga ikut mengangkat nama Dukuh Jayan.
Akibatnya tidak sedikit media cetak, online dan televisi datang untuk meliput.
Masyarakat luar daerah yang penasaran juga mulai berdatangan, dan hal ini mulai dilirik sebagai sektor pariwisata dan menjadi pendongkrak ekonomi warga
“Kami sedang membangun Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) karena di wilayah ini banyak tempat wisata yang masih bisa diolah lagi menjadi lebih baik,” terang Widodo.(*)