Tokoh Adat Pulau Tomia Teken Deklarasi Penangkapan dan Pengelolaan Ikan Ole
Saat ini telah tersusun peraturan adat tentang tata cara penangkapan ikan ole serta peta wilayah penangkapannya.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM -- Masyarakat Hukum Adat (MHA) di lingkup wilayah adat (kawati) Pulau Tomia, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, melaksanakan deklarasi penangkapan dan pengelolaan Ikan Ole dalam wilayah kelola adat kawati Pulau Tomia, Selasa (17/11/2020).
Para tokoh adat sepakat menghidupkan kembali sistem perikanan berbasis kearifan lokal pada ikan yang dikhawatirkan akan punah tersebut.
Hal ini sebagai upaya menguatkan tugas dan fungsi sara adat (pemangku adat) sebagai unsur pelaksana pranata adat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Muhammad Ilman mengatakan pendekatan adat ini sangat relevan dan penting karena peran adat yang sangat besar dalam menjaga sumber daya alam.
Baca juga: Pakai Sarung, Pelestarian Budaya Sekaligus Penghormatan Terhadap Pejuang dari Kalangan Santri
“Adat yang didukung peran aktif masyarakat menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan konservasi di Wakatobi,” kata Ilman dalam keterangannya, Kamis (19/11/2020)
Tradisi tangkap ikan Ole disebut masyarakat sekitar dengan nama Heole-Ole’a. Sesuai tradisi, ikan ole ditangkap dengan prosesi adat tersendiri.
Ikan ole adalah spesies yang diduga endemik di Pulau Tomia yang biasanya hanya muncul pada bulan Juni-September.
Baca juga: Jadwal Belajar dari Rumah TVRI, Sabtu 23 Mei 2020: Cagar Budaya, Jaga dan Lestarikan
Untuk menangkap ikan ole ini menggunakan alat tangkap tradisional, yaitu jala dan jaring insang, serta dipimpin oleh seorang parika, seorang pemangku adat yang ditugaskan mengatur segala hal yang berhubungan dengan penangkapan ikan ole.
Parika mengatur mulai dari tata cara penangkapan, lokasi penangkapan, waktu penangkapan, mengatur hasil tangkapan, dan berkoordinasi dengan lembaga adat sebelum melakukan penangkapan.
“Parika akan mengamati proses naiknya ikan ole ke suatu lokasi sampai selesai bertelur,” ujarnya.
Seiring perkembangan zaman, tradisi Heole-Ole’a perlahan terlupakan. Padahal, tradisi ini sarat nilai luhur dalam mengelola sumber daya hayati yang lestari.
Baca juga: Pendiri Kesultanan Selaco, Rohidin: Sudah 74 Tahun Pemerintah Indonesia Tak Lestarikan Makam Leluhur
Selain itu juga telah dilakukan modifikasi alat tangkap ikan yang cenderung melakukan penangkapan berlebih dengan menggunakan mata jaring yang lebih kecil, yang menyebabkan populasi ikan ole dikhawatirkan akan punah.
Oleh karena itu, perlu segera diambil langkah untuk mengatur penangkapan dan pengelolaan ikan ole secara berkelanjutan dengan Peraturan Bupati Wakatobi tentang MHA No. 45 Tahun 2018.
Sejak bulan Agustus 2020, mulai dilakukan pertemuan rutin antara pemangku kepentingan dengan sara adat untuk membahas pengelolaan ikan ole secara berkelanjutan berbasis adat.
Selain untuk menguatkan tugas dan fungsi sara adat, rangkaian pertemuan tersebut juga bertujuan untuk menyusun peta pengelolaan wilayah adat dan pembuatan kesepakatan peraturan adat tentang tata cara penangkapan ikan ole.
Saat ini telah tersusun peraturan adat tentang tata cara penangkapan ikan ole serta peta wilayah penangkapannya.
“Diharapkan, di musim ikan ole terdekat, peraturan ini sudah bisa dilaksanakan dan kita semua bisa mengawalnya agar berjalan dengan baik,” ujar Ilham