Kondisi Terkini Aktivitas Tiga Gunung Berapi di Indonesia, Ile Lewotolok, Gunung Semeru dan Merapi
Warga di sekitar Gunung Ile Lewotolok Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur sudah mengungsi untuk mengantisipasi hal yang tak diinginkan terjadi.
Penulis: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tiga gunung berapi di wilayah Indonesia dalam waktu hampir bersamaan mengalami peningkatan aktivitas.
Di Nusa Tenggara Timur tepatnya di bagian utara Pulau Lembata, Kabupaten Lembata, Gunung Ile Lewotolok atau Ile Ape meletus, Minggu (29/11/2020) kemarin.
Semburan pasir batu dan abu vulkanik belum juga berhenti hingga Minggu 29 November 2020.
Diketahui erupsi Gunung Ile Lewotolok sudah terjadi sejak Jumat 27 November 2020 pagi.
Warga di sekitar Gunung Ile Lewotolok Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur sudah mengungsi untuk mengantisipasi hal yang tak diinginkan terjadi.
Sejumlah desa diguyur abu.
Dilaporkan oleh KESDM, Badan Geologi, dan PVMBG Pos Pengamatan Gunung Ile Lewotolok erupsi pertama terjadi pada Jumat terjadi sekitar pukul 05.57 Wita.
Saat itu, teramati tinggi kolom abu lebih kurang 500 meter di atas puncak, sekitar 1.923 meter di atas permukaan laut.
Erupsi itu terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 34 milimeter dan durasi lebih kurang dua menit.
Akibat erupsi tersebut menyebabkan sejumlah desa di sekitar lereng gunung diguyur abu dan pasir.
Gunung Ile Lewotolok yang mengalami erupsi sejak Jumat diketahui terus mengalami peningkatan aktivitas.
Jika sebelumnya kolom abu teramati setinggi 500 meter di atas puncak, pada Minggu (29/11/2020) kolom abu meningkat menjadi 4.000 meter di atas puncak.
"Kolom abu teramati berwarna abu dengan intensitas tebal condong ke arah timur dan barat. Erupsi ini terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 35 mm dan durasi kurang lebih 10 menit," ungkap Petugas Pos Pengamatan Gunung Api Ili Lewotolok, Alselmus Bobyson Lamanepa kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Minggu.
Terkait dengan peningkatan aktivitas gunung itu, pihaknya meminta warga untuk menghindari area puncak dengan radius 2 kilometer.
Baca juga: 5 Anak Menghilang Pasca Gunung Ile Lewotolok Meletus, Diduga Panik dan Berlari Menuju Hutan
Lima Bocah Hilang
Perkembangan terkini, lima bocah dilaporkan hilang setelah terjadinya letusan Gunung Ile Lewotolok, Minggu (29/11/2020) kemarin.
Kelima bocah ini berasal dari Desa Waienga, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata.
Diduga mereka berlari menuju hutan saat terjadi letusan Gunung Ile Lewotolok.
Kelima anak dari Desa Waienga itu adalah Philipus Kopong (difabel), Cicilan (kelas 1 SD), Meski (kelas 1 SD), Naldo (kelas 2 SD), dan Holni (kelas 4 SD).
Paulus Toon Langotukan bersama warga, orang tua, kerabat, dan aparat Polres Lembata serta personel TNI berupaya mencari memasuki hutan di malam gelap, menyusuri jalan yang diprediksi dilalui kelima anak tersebut.
Paulus Toon Langotukan, Anggota DPRD Lembata kepada wartawan, Senin (30/11/2020) mengatakan dugaan sementara kelima anak ini panik sehingga berlari menuju hutan dan hingga kini belum juga kembali.
"Karena khawatir kami melakukan pencarian namun juga belum ditemukan," tandasnya.
Paulus mengharapkan bantuan semua pihak yang kemudian mendapat informasi keberadaan kelima anak ini bisa melaporkan kepada pihak berwajib.
Hingga berita ini diturunkan pencarian masih terus dilakukan karena kelima anak ini belum ditemukan.
Warga Mengungsi
Menyikapi peningkatan aktivitas Gunung Ile Lewotolok, warga yang tinggal di sekitar lereng gunung memilih untuk mengungsi.
Teddi Lagamaking, warga di sekitar Gunung Ile Lewotolok mengatakan, saat ini warga sudah banyak yang mengungsi ke kantor Bupati Lembata.
Hal itu dilakukan karena warga mulai panik. Mengingat erupsi Gunung Ile Lewotolok sudah tiga hari terakhir belum juga berhenti.
Baca juga: Abu Vulkanik Gunung Ile Lewotolok di Lembata Ancam Kesehatan Warga, Mereka Diimbau Pakai Masker
"Tadi pukul 11.00 Wita warga berangkat menuju kantor bupati Lembata karena panik melihat erupsi kembali terjadi disertai hujan kerikil, batu pasir, dan abu vulkanik. Mau tidak mau harus mengungsi," ungkap Teddi saat dihubungi.
Aktivitas Gunung Semeru
Sementara itu Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa dalam 24 jam terakhir ini aktivitasnya kembali meningkat.
Data dari pos pantau Gunung Semeru yang diterima BPBD Kabupaten Lumajang menyebutkan, selama 24 jam terakhir gunung berapi tersebut mengeluarkan guguran lava hingga 13 kali dengan jarak luncur 300 hingga 1.500 meter.
Dari Desa Curah Kobokan, Kecamatan Pasirian pada Senin (30/11/2020) guguran lava panas itu terlihat jelas.
Guguran lava panas itu terlihat mengarah ke Besuk Kobokan.
Yanto, penduduk setempat mengatakan, jika malam hari magma yang ke luar dari kawah Jonggring Saloko itu terlihat menyala seperti lava pijar.
"Kelihatan kayak api," ujar Yanto, Senin (30/11/2020).
Kendati demikian, kata Yanto aktivitas warga setempat masih berlangsung normal, meski kawasan Prunojiwo hanya berjarak 7 kilometer dari kaki Gunung Semeru.
Pantauan di Curah Kobokan, aktivitas penambang pasir juga masih berjalan seperti biasanya.
Hari, salah seorang penambang mengatakan, para pekerja akan berhenti beraktivitas jika Gunung Semeru mengeluarkan lahar dingin.
"Kalau ada hujan deras kita berhenti karena khawatir banjir lahar dingin," ungkapnya.
Dia mengatakan warga saat ini tidak merasa khawatir sebab luncuran lava panas itu berguguran masih dalam zona aman.
Baca juga: Aktivitas Gunung Semeru Meningkat, 24 Jam Terakhir Muntahkan Lava Hingga 13 Kali
"Kalau sirine bunyi baru lari ke jalur evakuasi," ujarnya.
Gunung Merapi
Dibandingkan dengan Gunung Ile Lewotolok dan Gunung Semeru, aktivitas Gunung Merapi sudah lebih dulu mengalami peningkatan.
Gunung Merapi mengalami peningkatan deformasi atau pemekaran tubuh akibat desakan magma dari dalam sejak ditetapkan berstatus siaga pada 5 November 2020 lalu.
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) melaporkan laju harian deformasi Gunung Merapi selama beberapa hari terakhir sebesar 11 cm/hari.
Sementara, sejak Juni 2020 hingga saat ini, Gunung Merapi telah mengalami pemekaran puncak sekitar 4 meter.
"Sampai saat ini dari Juni 2020 sudah terjadi pemekaran puncak sebesar sekitar 4 meter. Data pemantauan menunjukkan migrasi magma dari dalam sudah semakin dekat menuju permukaan. Namun demikian jika nanti terjadi erupsi tidak serta-merta menimbulkan bahaya bagi penduduk," ujar Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG, Agus Budi Santoso dalam Siaran Informasi BPPTKG, Sabtu (28/11/2020).
Ia melanjutkan, ancaman bahaya untuk erupsi efusif ditentukan dari perkembangan kubah lava. Sehingga saat ini pihaknya masih perlu mengikuti perkembangan kubah lava yang nanti terbentuk.
Adapun dari hasil pengamatan BPPTKG pada aktivitas Gunung Merapi Jumat (27/11/2020) pukul 00.00-24.00 WIB, terdengar suara guguran 6 kali dari Pos Pemantauan Gunung Merapi (PGM) Babadan dengan intensitas lemah hingga keras.
Pada periode tersebut, terjadi gempa guguran 39 kali, gempa hembusan 77 kali, gempa hybrid/fase banyak 410 kali, dan gempa vulkanik dangkal 37 kali.
Baca juga: BNPB Minta Antisipasi Fenomena La Nina dalam Mitigasi Erupsi Gunung Merapi
"Kegempaan ini dalam kondisi yang tinggi sejak ditetapkan status siaga pada 5 November lalu. Pada grafik bisa kita lihat bersama bahwa seismisitas Gunung Merapi yaitu gempa vulkanik dangkal dan gempa hybrid/fase banyak melampaui krisis 2006, namun masih lebih rendah dari krisis 2010," kata dia.
Agus menambahkan, pihaknya berpesan kepada masyarakat untuk tetap tenang dan bersabar menghadapi aktivitas Gunung Merapi ini.
"Kita berikan waktu kepada Gunung Merapi untuk berekspresi karena selama ini sudah memberi manfaat yang sangat besar untuk kita. Mudah-mudahan semua mendapat lindungan dari Allah SWT," tandasnya.
Terlihat Rekahan di Kawah
"Pada akhir-akhir ini terjadi pembentukan crack atau rekahan di kawah atau kubah lava paska 2010 dan 2018. Kemudian juga menunjukkan aktivitas guguran yang intensif," tutur Agus saat menerangkan hasil analisis foto satelit terbaru.
Agus menambahkan, perkembangan rekahan dan aktivitas guguran menunjukkan bahwa magma sudah sangat dekat di permukaan, sehingga kita menunggu kapan magma ini membentuk kubah di permukaan.
Metode lain yang dapat diterapkan untuk data satelit citra radar adalah Interferometric Synthetic-Aperture Radar (InSAR).
Metode ini memberikan gambaran deformasi secara 3 dimensi dari perubahan fase gelombang radar yang dipancarkan ke obyek dan kembali ke satelit. Prinsip kerjanya mirip seperti metode Electronic Distance Measurements (EDM), namun dengan jumlah sinar yang jauh lebih banyak.
Kekurangan dari metode InSAR adalah resolusi yang tidak terlalu tinggi sehingga agak sulit untuk mendapatkan resolusi orde sentimeter pada deformasi di gunung api. Berbeda dengan metode EDM yang bisa mencapai orde milimeter meskipun hanya diukur dari 1 titik.
"Metode InSAR ini berguna jika ada suplai magma yang besar, sehingga orde deformasinya mampu terekam oleh satelit," jelas Agus. (Pos Kupang/Tribunjogja/Surya)