Ini Pemicu Banjir di Kota Barabai Menurut Dosen Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat
Kejadian tahun ini menjadi banjir besar keempat yang melanda Martapura dalam catatan sejarah Banua dengan spasialnya lebih luas
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banjir besar di Kota Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, menjadi bencana besar yang menimbulkan perhatian nasional.
Tidak hanya Kota Barabai yang terdampak dari banjir besar di awal tahun 2021 ini.
Kabupaten Banjar juga mengalami banjir serupa bahkan tingginya mencapai atap rumah warga.
Kerusakan infrastruktur berupa jembatan, bangunan dan akses jalan yang menghubungkan Banjarmasin-Martapura dan enam Kabupaten lainnya nyaris lumpuh.
Banyak pro kontra dari informasi yang tersebar dengan pemberitaan media, bahwa banjir yang merupakan gejala alam ini disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang disebabkan industri.
Dosen Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Mansyur SPd, MHum mengatakan, selama ini belum terdapat data kongkrit tentang kerusakan alam karena industri yang berhasil didapatkan.
Pembangunan industri pertambangan batubara, baru menjadi wacana dan dipublish menjadi berita dari media lokal hingga nasional pada tahun 2019.
Baca juga: Banjir pada DAS Barito Kalsel yaitu DTA Riam Kiwa, Kurau dan Barabai karena Curah Hujan Ekstrim
“Mengenai wacana pertambangan mengemuka ke publik ketika terjadi penolakan dari pemerintah daerah maupun LSM.
Mereka sepakat menolak pertambangan.
Itulah Pegunungan Meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah adalah satu-satunya wilayah kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan tidak terjamah industri tambang batubara dan perkebunan sawit,” jelas Mansyur yang juga Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan.
Jadi banjir yang terjadi di Barabai, merupakan sebuah siklus banjir yang terjadi di Hulu Sungai Tengah.
“Kejadian ini merupakan banjir besar keempat yang melanda Martapura dalam catatan sejarah Banua. Cuma kali ini spasialnya lebih luas,” katanya.
Siklus banjir di wilayah Borneo bagian selatan, seperti wilayah barabai memang memiliki risiko banjir karena banyaknya sungai yang bukan hanya menimbulkan banjir di musim hujan tetapi juga sering di pertengahan musim kemarau (pada bulan Juli dan Agustus), dan banjir berlangsung cukup lama di beberapa tempat atau lokasi.
Baca juga: Baznas Terjunkan Belasan Personil Bantu Korban Banjir Cipinang Melayu dan Pondok Gede Permai
Untuk mengurangi resiko di tanah-tanah (dan pada tanaman musim kemarau lainnya) oleh Dinas Penerangan dan Pertanian Hindia Belanda sejak tahun 1937 sudah menyiapkan jenis padi siap panen tiga bulan ditanam, sedikitnya waktu yang diperlukan daripada padi jenis 5 bulan, sehingga memiliki lebih banyak peluang pada masa bebas banjir.