Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sepak Terjang Kombes Pol Sumardji, Karier Melesat Berkat Sepak Bola (1)

Kombers Pol Sumardji tak pernah membayangkan bakal jadi Dirlantas. Berangkat dari bintara, sepak bola mengantarnya jadi perwira menengah.

Editor: cecep burdansyah
zoom-in Sepak Terjang Kombes Pol Sumardji, Karier Melesat Berkat Sepak Bola (1)
Surya/saiful
Kombes :Pol Sumardji 

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol Sumardji baru saja mendapat promosi jabatan. Setelah setahun lebih memimpin di Sidoarjo, perwira asal Nganjuk itu dimutasi jadi Dirlantas Polda Bengkulu.

Karier Sumardji terbilang sangat moncer. Berangkat dari seorang bintara, bapak empat anak itu bisa menduduki sejumlah posisi strategis di korp kepolisian berkat dedikasi dan kiprahnya dalam dunia sepak bolah tanah air.

Bagaimana sepak terjang Sumardji, dan apa saja kisah di balik kesuksesannya, berikut wawancara eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network/Pemimpin Redaksi Harian Surya Febby Mahendra Putra dengan Kombes Pol Sumardji di Mapolresta Sidoarjo, Kamis (27/5).

Selain sebagai polisi, bapak juga sibuk mengurus sepak bola. Termasuk Bhayangkara FC dan Timnas U-23, bagaimana ceritanya?

Ini jalan yang cukup panjang, berliku dan terjal. Karier di dunia sepak bola merupakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah saya alami. Benar-benar hal baru.

Karier sepak bola saya ini merupakan tunjukan dari pimpinan. Waktu itu, saya ditunjuk oleh CEO Bhayangkara FC yang ketika itu namanya PS Polri. Yang menunjuk saya adalah Irjen Pol Condro Kirono.

Tahun 2016 saya ditunjuk jadi asisten manajer, kemudian jadi manajer, dan sampai sekarang ini jadi COO Bhayangkara FC.

Berita Rekomendasi

Apa saja yang sudah Anda lakukan selama itu?

Perjalanannya sangat berliku, namun saya bersyukur semua tetap berjalan baik. Tahun 2017 Bhayangkara FC juara liga. Kemudian tahun 2018 urutan tiga, tahun berikutnya di urutan empat, dan terus berada di posisi atas

.
Tahun 2019 lalu, saya dapat amanah dari PSSI untuk membawa Timnas U-23 dalam piala AFF di Kamboja. Dari pemilihan pemain, TC, dan berbagai proses kami lakukan sejak awal. Bersama Coach Indra Syafri, kami berjuang dan berjibaku untuk membawa sepak bola Indonesia ke kasta lebih tinggi. Setidaknya harus membanggakan lah. Membagakan negara dan masyarakat Indonesia.

Ketika itu juga terjadi gonjang-ganjing di tubuh PSSI. Namun kami tetap berkomitmen bersama, berjuang, dari pertandingan satu ke pertandingan lain untuk tetap maksimal.

Pada tahun 2019 itu, bulan November ada SEA Games di Philiphina, saya juga ditunjuk untuk menangani Timnas U-23. Skuat yang sama, serta bersama orang-orang yang sama di official dan sebagainya. Kami kembali berjuang bersama.


Tapi saat itu Tuhan berkehendak lain. Kita kalah di laga final melawan Vietnam. Padahal kita semua sangat berharap biasa jadi juara saat itu.

Bagaimana suka-duka menangani klub sepak bola?

Sukanya kalau menang pertandingan saja. Tapi ketika kalah, tidak bisa tidur sampai dua hari.
Bahkan, dalam peristiwa kita kalah di final SEA Games itu, satu minggu saya sakit perut. Stres berat soalnya. Jadi, dalam sepak bola itu senangnya saat menang. Bangga luar biasa.

Sejak kapan bapak menggemari sepak bola?

Sejak kecil saya sering main sepak bola. Karena tinggal di kampung, olahraganya ya cuma itu. Tapi sekadar untuk jaga kebugaran dan bersenang-senang bersama teman saja. Sehingga tidak bisa jadi tolak ukur.

Nah, ketika dewasa dan jadi polisi, saya ditunjuk oleh pimpinan. Tentu sebagai anak buah, saya harus menjalankan tugas dari pimpinan sebaik-baiknya.

Apa alasannya, kok Pak Sumardji yang ditunjuk?

Ini juga saya tidak tahu apa alasannya. Waktu itu saya diajak Pak Condro Kirono ke Bali, melihat turnamen di sana. Saya disuruh lihat-lihat terus, agar senang.

Karena sering diajak itulah, akhirnya saya kebawa juga. Dan bahkan saya ikut kegilaan. Sampai sekarang.

Di dunia sepak bola Indonesia, kita tahu ada isu tentang mafia. Apa yang pernah Anda rasakan dan ketahui tentang itu?

Memang, itu bukan sesuatu yang tabu atau asal bicara. Faktanya memang demikian. Sepak bola kita tidak jauh dari mafia perjudian. Dan kita tahu, pelaku perjudian tega menghalalkan segala cara. Seperti mempengaruhi pemain, perangkat pertandingan, manajemen, dan sebagainya.

Tapi saya melihat itu masa lalu. Sejumlah pelakunya sudah diungkap, dan itu bagian dari konsekwensi dalam upaya untuk memperbaiki kualitas sepak bola di negeri ini.

Jabatan Anda di dunia sepak bola saat ini, apa saja?

Sampai sekarang saya masih COO Bhayangkara FC. Di atas saya ada CEO, dan di bawah saya ada manajer. Sedangkan di Timnas, saya dapat SK lagi, ditunjuk menjadi wakil manajer

.
Apa kuncinya, kok Anda bisa dipercaya terus, kan tidak mungkin pimpinan asal tunjuk?

Saya sendiri tidak tahu. Tapi, mungkin ada beberapa hal yang orang banyak tidak mau. Yakni mau tekor dan selalu ikhlas. Tekor itu macam-macam ya, tekor tenaga, tekor pikiran, waktu, uang, dan sebagainya. Kan tidak semua orang mau itu.

Jujur saja, keluarga juga awalnya protes. Apalagi usia saya juga semakin tua. Tapi seiring waktu, semua bisa memahami itu.

Selama mengurus sepak bola, apa yang tidak bisa Anda lupakan?

Di Bhayangkara FC, saya punya pengalaman pahit. Kami mati-matian berusaha dan berjuang dengan segala kemampuan yang kami punya, ketika kami juara, malah dibuli. Saya masih teringat itu, sedih sekali, mau berprestasi malah dicurigai.

Sedangkan pengalaman di Timnas, yang masih terus terngiang adalah peristiwa final AFF dengan Vietnam. Kami sangat bersemangat sejak awal, tapi pas pertandingan masuk 15 menit, Evan Dimas yang kami harapkan jadi supporting untuk semua malah kena takling keras dan tidak bisa melanjutkan pertandingan.

Saya benar-benar down. Merasa bersalah. Sampai sekarang masih sering terngiang itu. Kalau orang jawa bilang “sial…” gitu setiap kali ingat. Seminggu saya sakit perut karena stres setelah peristiwa itu. Dan sampai sekarang masih sering terngiang, seperti trauma.

Bisa Anda jelaskan riwayat karier bapak, mulai dari kecil sampai sekarang?

Saya dilahirkan di bawah gunung. Di Pace, nganjuk 12 Februari 1972. Saya dari keluarga yang benar-benar tidak mampu. Ayah dan ibu saya buruh tani. Saya anak terakhir dari tujuh bersaudara.

Saya sekolah pertama di SD Embat-embat, kemudian SMP di Lohceret yang jaraknya sekitar 10 kilometer. Kalau berangkat ke sekolah butuh waktu sekira satu jam sambil lari-lari. Kebetulan saat itu kelas 1 dan 2 masuk siang, pas kelas 3 baru masuk pagi.

Kemudian saya sekolah di SMA Diponegoro Nganjuk. Lokasinya di kota. Karena hanya punya sepeda ontel yang cuma ban dan kerangka itu, ketika rusak ya harus nebeng teman. Atau sering juga nggandol truk dan sebagainya, yang penting bisa sampai sekolah.

Setelah SMA langsung daftar polisi?

Ya, lulus SMA tahun 1992 saya daftar Bintara Polisi. Sekolah kepolisian pertama di SPN Mojokerto. Kemudian saya ditugaskan di Polda Jatim, bagian Satwalprod. Yang tukang hormat itu.

Dari sana, saya kemudian tugas di rumah dinas Kapolda. Bisa dibilang jadi pembantu atau kacung lah. Saya lama di situ, mulai pak Kapolda Emon Rifai sampai pak Rusman Hadi.
Sehari-hari saya tugasnya mencuci mobil, ngepel rumah, nyemir sepatu, dan sebagainya di rumah dinas. Cukup lama saya di situ. Sampai pak Rusman Hadi jadi Kapolri, saya yang saat itu berpangkat Serda diajak ke Jakarta.

Kemudian tahun 1999 saya disekolahkan. Ikut Secapa lulus 2000-2001. Dari sana kemudian saya bertugas di Pamapta Polwiltabes Surabaya yang sekarang namanya Polrestabes Surabaya. Kemudian pindah ke Lantas. Dan pindah lagi ke Polda Jatim juga di Lantas. Lama juga saya di Lantas.

Dapat kenaikan pangkat luar biasa, bagaimana ceritanya?

Saat itu saya bertugas di Polda Metro Jaya. Saya juga tidak menyangka sama sekali. Benar-benar tidak pernah menyangka dan tidak terbayang. Blas…

Ternyata saya dapat penghargaan itu setelah membawa Timnas ke AFF dan Runner Up di SEA Games. Sama sekali tidak terbayang, mimpi saja tidak pernah.

Kemudian ditunjuk jadi Kapolrestas Sidoarjo dan akan jadi Dirlantas Polda Bengkulu. Saya juga sama sekali tidak pernah bermimpi sejauh ini. Tapi apapun itu, saya sangat bersyukur. Dan saya harus menjaga amanah yang diberikan kepada saya ini

Saya sadar diri, saya tahu diri. Saya ini bukan alumni Akpol, saya dari bintara yang merangkak dari nol. Benar-benar nol. Kemudian saya beruntung bisa sekolah, di Secapa, Selapa dan Sespim. Itu juga saya sangat bersykur.

Sekali lagi, amanah yang diberikan kepada saya akan saya pegang teguh. Jangan sampai saya salah, jangan sampai saya mengecewakan pimpinan. Apapun akan saya berikan untuk organisasi saya. Untuk Polri. (mohammad taufiq)

Baca juga: Hotel di Jabar Terpuruk, Ada Karyawan Enam Bulan Kerja Tanpa Digaji

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas