Di Indonesia, Kedelai Hanya Tumpang Sari (2-Habis)
Rantai pasokan kedelai sangat panjang dan rumit, sehingga harga kedelai lokal mahal. Tapi petani kedelai tak pernah makmur.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Mogok produksi seperti yang kembali terjadi pekan lalu, bukan kali pertama dilakukan para perajin tahu dan tempe di Indonesia.
Tahun ini saja, aksi mogok kemarin adalah yang kedua kalinya terjadi. Sebabnya sama: harga kedelai impor yang terus melambung.
Padahal, seperti diungkapkan Ketua Pusat Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) Jawa Barat, Asep Nurdindi, produksi kedelai lokal sebenarnya sudah mampu memenuhi 30 persen dari kebutuhan nasional.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Berikut lanjutan petikan wawancara eksklusif jurnalis Tribun Jabar, Cipta Permana, dengan Ketua Puskopti Jabar, Asep Nurdindi di Kantor Puskopti Jabar, Jalan Soekarno-Hatta Nomor 651, Kota Bandung, Rabu (3/6).
Berapa sebenarnya kebutuhan kedelai setiap tahunnya di Jabar? Apakah mungkin petani lokal kita mampu memenuhi kebutuhan tersebut?
Kebutuhan akan kedelai di Jabar antara 150 hingga 200 ribu ton per tahun. Hingga saat ini kedelai lokal belum pernah mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Produksi kedelai lokal kita, seperti yang diklaim pemerintah, telah mampu memenuhi 30 persen dari kebutuhan nasional. Ini berarti seharusnya setiap 10 karung kedelai impor yang dijual para pedagang, ada tiga karung kedelai lokal yang turut di jual.
Tapi faktanya, dari penelusuran yang saya lakukan ke setiap toko kedelai di Jabar, tidak ada satu karung pun kedelai lokal yang tersedia.
Inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran kami bahwa negara akan terus ketergantungan terhadap impor kedelai dibandingkan memaksimalkan potensi dari kedelai lokal.
Apa yang membuat para petani lokal kita tidak bisa mengembangkan komoditas kedelai?
Ada beberapa faktor penyebab kedelai lokal kita tidak dapat bersaing dengan kedelai impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Salah satunya karena kedelai hanyalah tanaman sela dan bukan kebutuhan strategis seperti halnya jagung atau padi.
Itu sebabnya Jabar tidak memiliki perkebunan kedelai. Kalau pun ada jumlahnya sangat terbatas, di beberapa daaerah seprti Sukabumi, Kuningan, Majalengka, dan beberapa daerah lainnya, yang jika ditotalkan jumlahnya hanya sekitar 20 ribu hektare, dan semuanya diperuntukkan untuk tanaman benih.