Bocah 6 Tahun Jadi Korban Pesugihan, Ahli Psikologi Forensik Soroti Minimnya Hukuman bagi Pelaku
Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, turut memberikan tanggapannya terkait seorang bocah yang menjadi tumbal pesugihan orang tuanya.
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Pravitri Retno W
"Saya mencoba menenangkan hati dengan mendorong penerapan pasal eksploitasi terhadap anak. Karena pesugihan dilakukan lewat 'pemanfaatan fisik' anak untuk tujuan ekonomi, maka definisi 'eksploitasi secara ekonomi' dalam UU Perlindungan Anak sudah terpenuhi."
"Ancaman pidananya paling lama 10 tahun penjara. UU Penghapusan KDRT juga memuat sanksi pidana yang sama, yakni penjara maksimal 10 tahun, bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga," tambah Reza.
Baca juga: Kasus Bocah Korban Ritual Pesugihan di Gowa, Praktik Kanibalisme hingga 40 Orang Diduga Terlibat
Lebih lanjut, Reza menjelaskan bahwa pidana dalam kasus eksploitasi lebih berat dibandingkan pidana kekerasan terhadap anak (UU Perlindungan Anak).
Selain itu pidana eksploitasi juga setara dengan pidana kekerasan dalam UU Penghapusan KDRT.
Namun, menurut Reza hukuman pidana tersebut masih belum sebanding dengan penderitaan yang AP rasakan setelah menjadi korban tumbal pesugihan.
"Pidana eksploitasi memang lebih berat daripada pidana kekerasan terhadap anak (UU Perlindungan Anak). Juga setara dengan pidana kekerasan dalam UU Penghapusan KDRT."
"Tapi terus terang, itu tetap belum sebanding dengan penderitaan anak korban pesugihan itu," jelas Reza.
Karena hukum pidana dinilai masih belum cukup untuk menghukum pelaku, Reza pun berharap, masyarakat bisa memberikan hukum adat bagi pelaku.
Baca juga: UPDATE Orang Tua Lukai Mata Anaknya demi Pesugihan, Paman Korban Sebut Ada Praktik Kanibalisme
Agar pelaku bisa diganjar sanksi atau hukuman yang lebih berat sesuai perbuatannya.
Reza menilai jika sanksi adat lebih setimpal dengan perbuatan pelaku dan mewakili suasana batin masyarakat maka sah-sah saja untuk dilakukan.
"Semoga masyarakat menemukan hukum adat yang memungkinkan pelaku penyiksaan anak diganjar sanksi jauh lebih berat lagi. Jadi, perlukah diberlakukan diversi (penyelesaian masalah di luar sistem pidana konvesional)?"
"Kenapa tidak? Sepanjang sanksi adat dinilai lebih setimpal dengan perbuatan pelaku dan lebih mewakili suasana batin masyarakat, maka terapkan saja."
"Sekaligus, apa boleh buat; kita patut takar kembali seberapa jauh filosofi pemasyarakatan (reintegrasi) tetap ingin kita terapkan dalam kasus pencungkilan mata anak," pungkasnya.
Baca juga: Kasus Ilmu Hitam di Gowa, Bocah Tumbal Pesugihan Orang Tuanya Jalani Operasi Mata
Bocah 6 Tahun Korban Pesugihan di Gowa Jalani Operasi