Gempa NTT, Pemerintah Pastikan Permudah Urus Surat Tanah Rusak atau Hilang
Sebanyak 346 rumah dan bangunan milik warga rusak bahkan rata dengan tanah usai guncangan gempa bumi berkekuatan magnitudo (M) 7,4 yang terjadi di Flo
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 346 rumah dan bangunan milik warga rusak bahkan rata dengan tanah usai guncangan gempa bumi berkekuatan magnitudo (M) 7,4 yang terjadi di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (14/12/2021) kemarin.
Pemerintah memastikan akan mempermudah pengurusan surat - surat tanah yang hilang atau rusak akibat peristiwa gempa. Termasuk, memulihkan kondisi rakyat dan daerah yang terdampak.
"Negara dalam hal ini pemerintah pasti hadir dalam setiap bencana, untuk membantu dan memulihkan kondisi rakyat dan daerah yang terdampak bencana. Pasti (dipermudah) semua urusan surat-surat berharga seperti sertifikat tanah yang mungkin hilang atau rusak dalam musibah tersebut," kata Tim Ahli Wakil Presiden, Noor Marzuki kepada wartawan, Rabu (15/12/2021).
Selain fokus mengupayakan pemulihan wilayah terdampak bencana, Marzuki mengajak semua komponen bangsa khususnya instrumen negara di bidang tata ruang pertanahan agar bersatu menuntaskan permasalahan terkait agraria dan tata ruang.
Harapannya, dampak bencana alam tidak berdampak destruktif terhadap masyarakat dan lingkungannya.
Baca juga: Update Dampak Gempa M 7,4 di NTT: 346 Rumah Rusak, 770 Warga Mengungsi, dan 7 Orang Luka
Poin penting yang menurutnya perlu segera diperbaiki adalah mempercepat implementasi rencana detail tata ruang (RDTR), sebagai solusi penyelesaian carut marutnya kondisi tata ruang di Indonesia.
"Jangan lupa, semangat Presiden Jokowi menggabungkan agraria, tata ruang dan badan pertanahan menjadi kementerian, untuk mewujudkan percepatan kepastian hukum serta menjaga keteraturan pemanfaatan ruang di setiap daerah, untuk menghindari bencana alam maupun musibah yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan," ungkap dia.
Pasalnya kata Marzuki, ketidakpastian hukum sangat rentan menimbulkan konflik dan sengketa.
Sejak diundangkan kurang lebih 13 tahun yang lalu, baru tersedia 53 Perda tentang RDTR dari keseluruhan 514 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Dari 53 Perda RDTR, hanya 17 RDTR yang sudah terintegrasi secara Online Single Submission (OSS).
Masih minimnya aturan daerah soal pertanahan yang terintegrasi secara online menyebabkan terkendalanya kemudahan investasi, terjadi hambatan berusaha, ketidakpastian hukum terkait pemanfaatan ruang, hingga kerusakan lingkungan yang bisa berakibat bencana.
"Ini menyulitkan pemerintah pusat dalam berkoordonasi, melakukan pengawasan dan pengendalian perencanaan dan pemanfaatan ruang, khususnya di daerah yang rentan bencana," papar Marzuki.
Marzuki pun menilai wajar jika ada opini yang menyebut bencana non alam seperti banjir di Kalimantan beberapa waktu lalu, merupakan imbas kesalahan dan lambannya tata kelola ruang.
Terlebih, sejak 7 tahun ATR dan BPN bersatu dalam satu tubuh kementerian, baru 2-5 persen dari 540 daerah yang menjalankan RDTR.
"Tata ruang yang baik, sejatinya adalah fundamental utama untuk menyelamatkan kehidupan warga negara baik sisi ekonomi maupun keselamatan jiwa raga sesuai aturan dalam RDTR yang kami usulkan menjadi program strategis nasional 2020-2024," pungkas dia.