Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cita Rasa Manis Kuliner Jawa dan Sejarah Kejayaan Industri Gula di Solo

Rasa manis pada masakan Jawa itu tidak lepas dari sejarah Jawa termasuk di Solo, yang pernah menjadi produsen gula terbesar di masa kolonial

Penulis: Daryono
Editor: Garudea Prabawati
zoom-in Cita Rasa Manis Kuliner Jawa dan Sejarah Kejayaan Industri Gula di Solo
TRIBUNNEWS.COM/DARYONO
Pabrik Gula Colomadu yang kini telah direvitalisasi menjadi destinasi wisata dengan nama De Tjolomadoe, Minggu (19/12/2021). PG Colomadu merupakan pabrik gula yang didirikan pengusa Mangkunegaran, KGPAA Mangkunegara IV pada 1861. 

TRIBUNNEWS.COM – Sudah menjadi rahasia umum, cita rasa masakan Jawa, terutama Solo di Jawa Tengah tidak lepas dari rasa manis.

Sebut saja gudeg, selat, tahu kupat hingga sate kambing bumbu kecap.

Cita rasa manis itu juga tercermin pada budaya minum teh di Solo yang popular dengan ungkapan legi, panas, kentel (ginastel).

Artinya manis, panas dan kental. 

Rasa manis pada masakan Jawa itu tidak lepas dari sejarah Jawa termasuk di Solo, yang pernah menjadi produsen gula terbesar di masa kolonial.

Produksi gula saat itu merupakan masa kejayaan. 

Baca juga: 8 Mitos dan Fakta tentang Penyakit Diabetes yang Perlu Diketahui, Mulai Obesitas hingga Asupan Gula

Selain dipengaruhi produksi gula, kuliner Solo juga dipengaruhi oleh budaya Belanda dan Eropa.

Berita Rekomendasi

Wulandari Kusmadyaningrum (55), pemilik Warung Selat Solo Mbak Lies mengatakan rasa selat Solo memang manis namun ada rasa gurih dan asam.

Rasa manis berasal dari kuah kecap dan kaldu daging, sedangkan rasa asamnya bersumber dari mayonaise.

“Selat itu rasanya manis ke gurih. Cara makannya itu kan diaduk jadi satu. Jadi rasanya lebih ke asam manis,” katanya saat berbincang dengan Tribunnews.com di warungnya di Serengan, Solo, Sabtu (11/12/2021).

Diterangkan Mbak Lies, sapaan akrab Wulandari Kusmadyaningrum, selat terdiri dari 12 bahan.

Di antaranya ada kentang, mentimun, wortel, buncis, telur, bawang merah, daun selada dan keripik kentang (criping).

Untuk variasinya daging sapinya ada galantin, bestik dan lidah. 

Selat Solo
Selat Solo (TRIBUNNEWS.COM/DARYONO)

Selat merupakan masakan Jawa yang meniru masakan Eropa yakni Salad.

Kata selat sendiri diyakini berasal dari kata salad yang kemudian disebut dengan selat oleh orang Jawa.

Tidak diketahui pasti sejak kapan selat menjadi sajian orang Jawa.

Namun demikian, diduga hadirnya selat karena pengaruh budaya saat Belanda menjajah Indonesia.

“Indonesia kan dijajah Belanda. Orang Belanda, noni-noninya di Indonesia itu masaknya salad. Jadi orang Jawa meniru dan jadilah selat itu,” ujar Mbak Lies yang sudah berjualan selat sejak tahun 1987 ini.

Baca juga: Manfaat Mengkonsumsi Buah Naga bagi Kesehatan, Kaya Antioksidan hingga Dapat Mengontrol Gula Darah

Pemerhati kuliner Jawa lampau, Dinda Sukma Kartika, S.Hum mengatakan banyaknya pabrik gula yang ada di Jawa semasa era kolonial menjadi salah satu faktor utama masakan Jawa bercita rasa manis.

“Kala itu, kebanyakan di Solo Raya atau eks Karesidenan Surakarta ini kan banyak pabrik gula sehingga kan produksi gulanya banyak. Bagi masyarakat Jawa, bisa dibilang gula itu salah satu bahan makanan pokok. Misal kalau makan pakai nasi, nah kalau bumbu utama itu ya salah satunya gula itu,” katanya, Rabu (15/12/2021).

Dinda menyebut di masa kolonial, untuk meracik makanan atau minuman, gula menjadi salah satu bahan utama.

Hal ini karena gula mudah didapat dan produksinya melimpah.

Diterangkannya, selain selat, terdapat sejumlah kuliner Jawa yang mendapat pengaruh Eropa.

Di antaranya ada semur yang berasal dari Bahasa Portugis smoor.

Kemudian ada perkedel yang berasal dari bahasa Belanda frikadeller.

Ada pula nasi kuning yang menggunakan kentang dan abon.

Tak hanya itu, nasi goreng yang saat ini terdapat varian sea food juga dipengaruhi oleh budaya Belanda

“Nasi goreng kan sekarang dikasih udang (sea food). Kalau orang Jawa kan cenderung daging ayam, sapi. Seafood itu lebih terpengaruh Eropa karena orang Eropa kan makannya ikan dan seafood,” bebernya.

Untuk minuman, Dinda menyebut minuman limun dan sirup sebagai minuman yang dipengaruhi oleh budaya Belanda.

Limun dan sirup juga menjadi sajian yang disuguhkan Keraton Surakarta saat menjamu Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1900 awal.

Selain limun dan sirup, ada pula pudding yang disebut agar-agar oleh orang Jawa.

“Pudding di sini mungkin bisa pudding asli buatan Eropa, tapi bisa juga seperti agar-agar yang dibikin orang Jawa. Saya juga tidak tahu pasti karena saya hanya dapat arsip kartu menunya. Menunya itu ada pudding, es krim. Minumnya air sirup, limun,” ungkapnya.

Masa Kejayaan Industri Gula di Surakarta

Jawa termasuk Surakarta memang pernah menjadi sentra gula bagi dunia.

Jejak itu masih nampak hingga kini.

Di antaranya ada Pabrik Gula Tasikmadu dan Pabrik Gula Colomadu di Karanganyar.

PG Tasikmadu masih beroperasi di bawah PTPN IX, sementara PG Colomadu sudah berubah fungsi menjadi destinasi wisata.

Pabrik Gula Colomadu yang kini telah direvitasliasi menjadi destinasi wisata dengan nama De Tjolomadoe, Minggu (19/12/2021).
Pabrik Gula Colomadu yang kini telah direvitasliasi menjadi destinasi wisata dengan nama De Tjolomadoe, Minggu (19/12/2021). (TRIBUNNEWS.COM/DARYONO)

Masa keemasan Jawa sebagai produsen gula dipicu diberlakukannya sistem tanam paksa oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1830.

Pada masa itu, sekitar 20 persen lahan penduduk wajib ditanami tanaman perkebunan salah satunya tebu.

Hindia Belanda memandang tebu sebagai salah satu komoditas potensial di pasar dunia.

Sistem yang diberlakukan hingga tahun 1870 ini terbukti membawa keuntungan besar bagi Hindia Belanda hingga bisa menutup kekurangan kas Hindia Belanda.

Baca juga: Pura Mangkunegaran Solo Mulai Dibuka, Ibu Hamil, Anak-anak dan Lansia Dilarang Berkunjung

Pascatanam paksa, Belanda membuka politik pintu terbuka yang membuat masuknya pengusaha swasta Barat ke Jawa.

Pada masa inilah industri gula di Jawa mengalami masa keemasannya.

Berdasarkan data Vincent JH Houben dalam Kraton and Kompeni Surakarta and Yogyakarta 1830-1870 yang diterjemahkan Bambang Purwanto, Yogyakarta:Bentang hlm 299, sebagaimana dikutip dari skripsi Perubahan Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkungeran Tahun 1946-1952 karya Wahyuningsih, 2010, pada tahun 1862, terdapat 44 perusahaan Eropa di bidang perkebunan di Solo.

Sementara jumlah pabrik gula di Surakarta sebanyak 46 pabrik gula pada tahun 1863.

Manisnya bisnis perkebunan dan gula era itu kemudian membuat penguasa Kerajaan Mangkunegaran Solo saat itu, KGPAA Mangkunegara IV (1853-1881) turut menjadi pemain.

Ia mendirikan pabrik gula Colomadu pada tahun 1861.

Pabrik Gula Colomadu didirikan di desa Krambilan, distrik Malang Jiwan yang pembangunannya di bawah pengawasan R.Kamf, seorang ahli berkebangsaan Jerman.

Biaya pembangunan pabrik gula itu sebesar f400.000 yang berasal dari keuntungan usaha kopi Mangkunegaran dan pinjaman koleganya, mayor Cina di Semarang, Beaw Bin Tjwan.

Peletakan batu pertama pembangunan PG Colomadu dilakukan pada 8 Desember 1861.

Pabrik ini diberi nama Colomadu yang berarti gunung madu.

Setahun kemudian pada 1862, pabrik ini mulai beroperasi.

STOK GULA AMAN -  Pekerja sedang mengemas gula pasir ukuran satu kilogram di Gudang Perum Bulog Divisi Regional Tangerang di kawasan Periuk, Kota Tangerang, Rabu (29/4/2020). Menurut Pimpinan Cabang Perum Bulog Regional Tangerang, Bagus Wahyu Santoso, persediaan gula pasir selama ramadan dan lebaran aman, dengan harga yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 12.500. (Wartakota/Nur Ichsan)  *** Local Caption ***
STOK GULA AMAN - Pekerja sedang mengemas gula pasir ukuran satu kilogram di Gudang Perum Bulog Divisi Regional Tangerang di kawasan Periuk, Kota Tangerang, Rabu (29/4/2020). (WARTAKOTA/Nur Ichsan)

Dikutip dari buku Tradisi Slamatan Giling (Cembengan) PTP XV-XVI (Persero) PG Colomadu dan Tasikmadu Tahun 1992 karya R.Ay Hilmiyah Darmawan Pontjowolo, mesin PG Colomadu didatangkan langsung dari Eropa.

Mesin-mesin ini bertenaga uap.

Tidak hanya memenuhi produksi di Jawa, produksi gula dari PG Colomadu juga dijual ke Singapura dan Bandaneira.

Keberadaan PG Colomadu menjadikan KGPAA Mangkunegara IV sebagai raja jawa dan orang Jawa pertama yang memiliki pabrik gula.

Pasalnya, pabrik-pabrik gula yang saat itu ada dimiliki oleh pengusaha Belanda, Inggris dan Tionghoa.

Sukses membangun PG Colomadu, sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 11 Juni 1871, KGPAA Mangkunegara IV membangun pabrik gula kedua yakni PG Tasikmadu.

Pabrik Gula Taksimadu
Pabrik Gula Taksimadu (Perpus Provinsi Jateng)

Pabrik ini besarnya 3x Colomadu.

PG Tasikmadu selesai dibangun dan giling pertama pada 1874.

Dikutip dari buklet Jalur Gula Kembang Peradaban Kota Lama Semarang terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2017, banyaknya pabrik gula di Jawa pada masa kolonial menjadikan Pulau Jawa sebagai produsen gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba.

Hingga tahun 1925 terdapat 202 pabrik gula yang aktif di Pulau Jawa. 

Industri gula saat itu juga didukung rel kereta yang menjadi alat transportasi penyokong yang jejaknya masih ada hingga saat ini.

Baca juga: Meski dengan Gula, Ini 3 Tips Memasak Mudah Kue Kering agar Lebih Sehat

Merujuk data dalam Sejarah Perusahaan-Perusahaan Kerajaan Mangkunegaran, Ak Pringgodigdo, 1987, pada tahun 1917, produksi PG Colomadu dan PG Tasikmadu ini mencapai 24.319 ton yang merupakan produksi tertinggi selama 19 tahun terakhir.

Masa keemasan industri gula di Jawa ini kemudian menurun di masa Mangkunegara VII (1916-1944), tepatnya pada 1930-an.

Industri gula menurun seiring reorganiasi agraria yang menghambat kinerja industri gula dan juga krisis ekonomi.

Kondisi ini semakin memburuk saat pendudukan Jepang dan awal Kemerdekaan hingga akhirnya PG Colomadu dan PG Tasikmadu diambil alih oleh Pemerintah Indonesia setelah Kemerdekaan RI.  

Manis tapi Tetap Sehat

Makanan Jawa yang dominan manis tetap menjadi makanan sehat dan memenuhi gizi sepanjang pola konsumsinya masih dalam batas yang diperbolehkan.

“(Masakan Jawa manis) itu sudah kayak jadi taste. Mungkin kalau nggak manis nggak marem. Nah sebenarnya masakan manisnya itu ndak ada masalah sepanjang masih dalam batas yang diperbolehkan,” kata dr Indrawati SpGK, Dokter Spesialis Gizi Klinik RSUD Dr Moewardi Jawa Tengah saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (19/12/2021).

Menurut dr Indra, tubuh manusia membutuhkan gula sebagai sumber energi.

Gula sendiri menjadi salah satu sumber energi yang mudah digunakan.

Karena itu, yang harus lebih diperhatikan bukan pada gula itu sendiri tetapi pada tiga hal yakni jumlah, jenis dan jadwal konsumsi.

Pertama soal jumlah. Menurut dr Indra, jumlah gula yang dikonsumsi oleh tubuh haruslah sesuai.

Hal ini karena setiap orang kebutuhannya bisa berbeda-beda tergantung pada berat badan, jenis kelamin, aktivitas dan kondisi tubuh bagi orang yang memiliki penyakit tertentu.

“Jumlahnya harus sesuai. Kalau jumlahnya berlebih itu memang bisa jadi penyakit,” ujar dia.

Kedua soal jenisnya. Dikatakannya, untuk makanan manis seperti jeroan tentu itu beresiko untuk menaikkan kolesterol.

Tetapi bagi masakan Jawa lainnya seperti tempe bacem, ayam kecap atau telur, sekalipun manis hal itu tetap diperlukan tubuh sebagai sumber protein.

dr Indra menilai, masakan Jawa umumnya kurang serat karena itu ia menyarankan agar sumber serat diperhatikan seperti sayur dan buah.

Ketiga soal jadwal konsumsi. Dikatakannya, secara umum ada lima waktu yang dibagi menjadi dua kali makan besar dan dua makan selingan (snack/cemilan).

“Jadi prinsipnya ndak papa (makan manis Jawa). Manis itu cita rasa. Hanya konsumsinya harus memperhatkan tiga hal tadi,” ujarnya.

Baca juga: Terapi Insulin Selamatkan dan Meningkatkan Kualitas Hidup Orang dengan Diabetes

Terkait kekhawatiran diabetes, dr Indra menyatakan diabetes tidak serta merta diakibatkan oleh makanan.

Ia mengakui, diabetes salah satunya bisa disebabkan oleh pola makan berlebih yang cenderung menyebabkan obesitas.

Saat obesitas, maka seseorang itu menjadi beresiko tinggi terkena diabetes.

Namun demikian, ada banyak faktor yang membuat seseorang bisa terkena diabetes.

“Bisa karena jadwal makan, ada juga dari faktor genetik (keturunan). Hal itu juga membawa peran untk terjadinya diabetes. Jadi tidak hanya dari makanan dan minuman saja. Kita jangan hanya men-judge dari makanan manis. Makan manisnya itu seberapa, kalau melebihi dan kemudian obesitas ya memang resiko diabetes lebih tinggi,” bebernya.

Isi Piringku
Isi Piringku (Kemenkes.go.id)

dr Indra menyarankan agar pemenuhan gizi dilakukan secara seimbang yakni terdapat sumber karbohidrat, lemat, protein, mineral dan vitamin. Masyarakat bisa berpedoman pada Isi Piringku yang direkomendasikan Kementerian Kesehatan.

Terdiri dari makanan pokok, lauk-pauk, sayuran dan buah.

“Proporsinya semua ada di sana sehingga semua gizi yang dibutuhkan tubuh terpenuhi,” jelasnya.(*)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas