DPR Dorong Bangun Bandara di Bali Utara
Karena Bandara Ngurai Rai landas pacunya berbatasan dengan laut, Bali harus menyiapkan diri dengan adanya bandara baru di Bali Utara.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyiapkan sejumlah upaya mengantisipasi bencana gempa bumi dan tsunami yang sewaktu-waktu dapat menghantam Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali.
Hal tersebut karena lokasi Bandara itu berada di ujung selatan Bali serta letak landasan pacu (runway) berbatasan langsung dengan laut.
Terkait dengan data tersebut, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Gde Sumarjaya Linggih alias Demer mengatakan, dengan adanya analisa dari BMKG membuktikan bahwa seharusnya Bali harus menyiapkan diri dengan adanya bandara baru di Bali Utara.
Apalagi, penumpang yang datang melalui Bandara Ngurah Rai berjumlah 27 juta per tahun.
"Padahal kebutuhan Bali Airport Ngurah Rai, walaupun tidak ada bencana atau potensi bencana harus ada airport kedua yaitu karena yang satu ini sudah penuh penumpang, per tahun itu 27 juta penumpang, maka jalan satu-satunga untuk menambah wisatawan adalah bandara baru," katanya, Jumat (11/2).
Memang, awalnya PT Angkasa Pura I (Persero) sebenarnya ingin memperpanjang runway bandara. Hal ini dilakukan untuk menambah kapasitas jumlah penumpang yang dapat ditampung menjadi 34 juta penumpang per tahun.
"Awalnya ada dua alternatif memperpanjang runway dari 3.000 meter menjadi 3.400 meter, sehingga menambah kapasitas menjadi 34 juta. Tapi gak mungkin menambah runway, karena nanti teman-teman di Kuta dan Jimbaran akan rebut," kata dia.
Hanya saja, menurutnya, AP 1 tidak melakukan proyeknya sendiri, karena perusahaan pelat merah milik Kementerian BUMN itu mengalami kerugian hampir Rp 200 miliar per bulan.
“Kalau mereka invest mereka duitnya dari mana. Kondisi sekarang mereka berat, ruginya Rp 200 miliar per bulan. Ya memang, kita harus. Kalau BUMN sendiri keuangannya agak berat untuk membangun bandara baru," imbunnya
Untuk itu, menurutnya, pemerintah harus segera menggandeng swasta untuk membangun bandara baru di Bali di Buleleng. Hanya saja, hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai lokasi bandara tersebut.
"Tapi kalau di Bali sendiri swasta bisa membangun, karena ada UU No 1 Tahun 2009 bahwa swasta boleh membangun di landsite namanya dari segi lahan, airsite tidak bisa. Sebagian udara kita ada punya PT AirNav, tapi di landsite di lapangan, bangunan, bisa kuasa. Ini sebenarnya sudah dirintis dua swasta di utara, tapi belum ada kejelasan juga," tegasnya.
Padahal, menurutnya Buleleng menjadi daerah yang aman dari gempa maupun tsunami. “Lautnya tenang, dan tidak ada sejarahnya (tsunami). Tinggal pemerintah aja, mau nggak. Swasta sudah siap dan mau,” ujarnya.
Padahal, sudah ada kajian dari lembaga konsultan dari Amerika Serikat yakni L&B yang sudah mengkaji 9 titik di Bali yang berada di Klungkung, Nusa Penida, Kubu, Bukit, Jembrana. Namun, dari 9 titik tersebut, Kubutambahan menjadi daerah yang paling cocok untuk dibangun bandara.
“Padahal ada kajian L&B dari Amerika yang mengkaji 9 titik yang pasti di timur di Kubutambahan itu. Jangan mengkaji-kaji lagi. Seolah-olah di barat, lalu nggak jadi. Pindah ke timur lagi, kan kacau. Kalau memperlambat infrastruktur sama dengan memperlambat kesejahteraan masyarakat. Itu menjadi dosa sejarah pemerintah,” tegasnya.
“Pemerintah jangan mencla-mencle kayak Gubernur. Kadang di timur Kubutambahan, kadang di barat di Sumber Klampok. Kajiannya berdasarkan apa? Ini buang-buang waktu. Seharusnya gunakan saja kajian yang sudah ada yang dilakukan konsultan ternama dari Amerika,” katanya. (gil)
Baca juga: Bandara Ngurah Rai Rawan Tsunami, BMKG Siapkan Teknis Evakuasi Vertikal