Perajin Tempe di Sleman DIY Terpaksa Kurangi Ukuran dan Jumlah Produksi Imbas Kedelai Mahal
Cara tersebut dilakukan agar tetap bisa bertahan imbas kenaikan harga bahan baku kedelai yang melambung tinggi.
Editor: Erik S
TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN - Selain mengurangi jumlah produksi, perajin tempe di Sleman Yogyakarta terpaksa ikut mengurangi ukuran kemasan.
Cara tersebut dilakukan agar tetap bisa bertahan imbas kenaikan harga bahan baku kedelai yang melambung tinggi.
Hal itu terpaksa dilakukan agar tetap bisa meraup untung meskipun tipis.
"Keuntungannya tipis. Kami sangat berharap, ada penurunan harga kedelai," kata perajin Tempe Sehati, Wihan Padmanto, ditemui di Rumah Tempe Indonesia Sleman di Krandon, Sidomulyo, Godean, Rabu (12/2/2022).
Baca juga: Harga Tahu Tempe Merangkak Naik, PRIMA: Pemerintah Gagal Kendalikan Harga Kebutuhan Pokok
Menurutnya, kenaikan harga kedelai sangat berpengaruh pada usaha pembuatan tempe .
Imbas dari kenaikan harga kedelai, dirinya terpaksa menurunkan skala produksi dari sebelumnya 30 kg kini hanya mampu produksi 20 kg sehari.
Disamping itu, dirinya juga terpaksa mengurangi ukuran tempe .
Misalnya, ukuran satu kemasan tempe dengan harga Rp 4 ribu biasanya seberat 270 gram, kini dengan harga eceran yang sama, namun ukuran menyusut lebih kecil menjadi 250 gram.
Baca juga: Kedelai Mahal, Perajin Tahu dan Tempe Bakal Mogok Kerja, Ini Pemicu Naiknya Harga Kedelai
"Satu kilo kedelai biasanya dikemas 5 bungkus, sekarang satu kilo jadi 6 bungkus. Harganya tetap sama. Ini untuk menyesuaikan harga kedelai yang sekarang tinggi," tuturnya.
Wihan mengatakan, harga kedelai terakhir di pasaran sudah menyentuh diharga Rp 11.400/kg.
Harga kedelai ini , menurut dia, sebenarnya sudah merangkak naik sejak awal pandemi Covid-19 .
Kenaikan berlangsung secara perlahan.
Semula diharga Rp 6.800/kg kemudian terus merangkak naik hingga sekarang sudah menembus lebih dari Rp 11 ribu.
Dampak kenaikan harga kedelai ini jelas sangat dirasakan bagi perajin tempe maupun tahu.
Menurut Wihan, omset keuntungan yang didapat berkurang drastis.
Apalagi, kenaikan bukan hanya terjadi pada bahan baku kedelai , melainkan di bahan baku produksi lainnya.
Seperti plastik untuk mengemas, sticker kemasan dan gas.
"Dampaknya sangat terasa. Kenaikan bahan baku menyusutkan keuntungan," katan Wihan.
Ia berharap, pemerintah segera campur tangan untuk menstabilkan harga kedelai yang saat ini dinilai sudah terlalu tinggi.
Berharap Ada Subsidi Harga
Ketua II Primer Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) Sleman , Sunaryo mengatakan, harga kedelai yang terus merangkak naik sangat berdampak dan membuat dilematis bagi anggotanya.
Baca juga: Perajin Tahu-Tempe Menjerit, PPP Desak Pemerintah Kendalikan Harga Kedelai
Menurut dia, dari sekitar 200 anggota, kebanyakan adalah perajin tahu tempe skala kecil dengan kemampuan produksi sekitar 8-10 kilogram sehari.
Karena itu, dampak kenaikan harga kedelai sangat dirasakan.
"Kenaikan harga kedelai ini seharusnya perajin menaikan harga tahu ataupun tempenya. Tapi, ketika mau menaikan harga, tentu akan kesulitan dalam hal pemasaran. Karena ada persaingan pasar. Jadi terpaksa hasilnya (keuntungan) berkurang," kata dia.
Sunaryo mengungkapkan, bagi perajin kecil kenaikan harga kedelai sangat berpengaruh.
Bahkan, menurut dia, perajin kecil yang tidak memiliki ilmu dagang, pasti usahanya tidak akan mampu bertahan lama.
Jika dipaksakan bertahan pun hanya mampu untuk menghidupi dirinya sendiri.
Tidak bisa menjadi sumber penghidupan untuk keluarganya. Sebab, keuntungan yang didapat minim.
"Perajin kecil itu hanya bisa bertahan hidup untuk dirinya sendiri. Jika untuk menghidupi keluarganya tidak bisa. Harus disambi bekerja di tempat lain," kata Sunaryo.
Ia berharap, pemerintah segera campur tangan untuk menstabilkan harga kedelai, bisa dalam bentuk subsidi harga. (Ahmad Syarifudin)
Artikel ini telah tayang di TribunJogja.com dengan judul Harga Kedelai Melonjak, Perajin Tempe di Sleman Terpaksa Kurangi Produksi
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.