Puluhan Ribu Warga Bali Bakal Menganggur
Pemkab Klungkung mulai melakukan pemetaan tenaga non ASN, meliputi tenaga kontrak ataupun honorer.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, SEMARAPURA – Puluhan ribu tenaga kontrak dan honorer di beberapa pemerintah daerah di Bali terancam tidak bekerja alias menganggur jika surat edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) Tjahjo Kumolo terkait penghapusan tenaga honorer diterapkan 28 November 2023.
Para tenaga kontrak tersebut berharap pemerintah daerah mengambil kebijakan penyelamatan nasib mereka.
Dalam surat yang diterbitkan Selasa (31/5), Tjahjo menyampaikan latar belakang berupa pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasal tersebut berisi pegawai ASN terdiri atas PNS dan PPPK.
Selanjutnya pasal 8 UU yang sama menyebutkan, pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara. Sehingga, sudah tidak ada lagi tenaga non-ASN dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, sampai ke pemerintah daerah.
Ketika ditemui, Jumat (3/6), para pegawai berstatus tenaga kontrak di Klungkung mengaku resah dengan wacana penghapusan pegawai non-ASN (Aparatur Sipil Negara) di lingkungan pemerintah dari pusat sampai ke daerah.
Apalagi Pemkab Klungkung sudah mulai melakukan pemetaan terhadap tenaga kontrak sampai honorer.
"Resah sudah pasti. Selama ini payuk jakan (penghasilan) saya cuma sebagai tenaga kontrak ini. Istri juga tenaga kontrak. Kalau kontrak kami diputus, bagaimana nasib kami," ungkap I Wayan R (26) yang sudah 6 tahun bekerja di Pemkab Klungkung.
Menurutnya jika kebijakan ini diterapkan, akan menyebabkan pengangguran bertambah. Saat ini saja jumlah pegawai non-ASN di Pemkab Klungkung berjumlah lebih dari 3000 orang.
"Jika lebih dari 3.000 tenaga kontrak dan honorer itu diberhentikan kerja, bagaimana nasibnya? Pengangguran akan bertambah. Itu baru di Klungkung saja, belum di daerah lain," ungkapnya.
Ia berharap pemerintah daerah bisa "pasang badan" untuk menyelamatkan nasib tenaga kontrak dan honorer di Klungkung. Pimpinan daerah juga diharapkan kompak, untuk menyuarakan penolakan kebijakan tersebut ke pemerintah pusat.
"Jangan baru datang surat dan wacana (Penghapusan pegawai Non ASN), pemkab malah cepat-cepat melakukan pemetaan pegawai. Pikirkan juga nasib kami yang bertahun-tahun bekerja dengan beban sama seperti PNS, tapi gaji kecil," jelasnya seraya mengaku mendapat upah Rp 1,4 juta bersih, tanggungan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Keresahan serupa diungkapkan pegawai lainnya, Putu NR (25). Ia menilai kebijakan itu sarat dengan kepentingan politik, jelang Pilpres 2024.
Jika kebijakan itu diterapkan, ia berharap ada kebijakan "penyelamat" dari pemerintah. Misal saja langsung mengangkat tenaga kontrak atau honorer menjadi P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).
"Semoga aja ada kebijakan penyelamat dari pemerintah, dengan langsung mengangkat kami sebagai P3K. Ini kan lebih bijaksana, dari pada sekadar memutus kami sebagai tenaga kontrak," ungkapnya.